KATADATA ? Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengklarifikasi pernyataan Presiden Joko Widodo dan Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto perihal utang Indonesia ke Dana Moneter Internasional (IMF).
Bambang mengatakan, posisi utang IMF sebesar US$ 2,8 miliar yang tercatat dalam buku ?Statistik Utang Luar Negeri Indonesia? atau SULNI merupakan penempatan dana IMF di Indonesia. Itu merupakan bagian dari pengelolaan devisa yang disebut balance payment support ke setiap negara yang menjadi anggota IMF.
Secara statistik, kata dia, penempatan dana tersebut dicatat sebagai utang. Pemerintah dapat menggunakan dana tersebut sewaktu-waktu dalam keadaan darurat. ?Jadi ini standby loan kalau negara perlu,? kata dia di Jakarta, Selasa (28/4).
Lebih lanjut Bambang mengatakan, utang ke IMF sudah lunas sejak 2006. Tapi karena pengelolaan cadangan devisa yang dilakukan Bank Indonesia (BI) mengikuti sistem IMF, maka ada penempatan dana oleh lembaga moneter internasional tersebut. ?Sejauh ini karena kondisi ekonomi baik, uang itu tidak perlu dipakai,? tuturnya.
Direktur Departemen Komunikasi BI Peter Jacobs menambahkan, posisi dana IMF sebesar US$ 2,8 miliar dalam SULNI merupakan bagian dari program IMF menjaga likuiditas di semua negara anggotanya. Sebagai anggota, Indonesia membayar iuran sehingga mendapatkan alokasi dana dalam denominasi Special Drawing Rights (SDR) atau mata uang IMF yang nilainya sesuai kuota iuran.
Kemudian alokasi dana tersebut dicatat sebagai kewajiban kepada IMF, sebagaimana juga berlaku di seluruh anggota IMF. Di BI, penempatan dana yang berlangsung sejak 2009 secara teknis dicatat sebagai kewajiban.
?Itu sebetulnya adalah aset IMF di BI. Oleh BI dicatat sebagai kewajiban bank sentral kepada pihak non-penduduk, yang per definisi ekonomi internasional merupakan utang. Tapi itu bukan utang dalam arti kita meminjam,? kata Peter.
Lantaran penempatan dana tersebut merupakan konsekuensi keanggotaan, maka tetap akan muncul dalam SULNI sepanjang Indonesia masih menjadi anggota. Kewajiban ini berbeda dengan pinjaman ketika krisis 1998 sebesar US$ 9,1 miliar yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan neraca pembayaran yang tergerus akibat krisis.
?Itu (utang 1998) sudah dilunasi seluruhnya pada 2006 setelah kita punya kemampuan tanpa harus keluar dari keanggotaan,? kata Peter.
Kontroversi perihal utang ke IMF tersebut muncul setelah mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam akun Twitter-nya, mengoreksi pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa Indonesia masih memiliki utang ke lembaga keuangan internasional itu.
?Siapa yang bilang anti (IMF), kita masih pinjam ke sana kok. Siapa yang kritik, itu sebuah pandangan,? ujar Jokowi di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, Minggu (26/4), sebelum bertolak menghadiri pertemuan petinggi negara di Kuala Lumpur, Malaysia.
Pernyataan Jokowi tersebut disambut SBY dengan mengatakan, Indonesia sudah melunasi seluruh utang ke IMF yang berjumlah US$ 9,1 miliar pada 2006 atau empat tahun lebih cepat dari jadwal.
?Sejak 2006, Indonesia tidak jadi pasien IMF. Tidak lagi didikte IMF. Kita merdeka dan berdaulat untuk merancang pembangunan ekonomi kita,? tutur SBY dalam akun Twitter @SBYudhoyono.
Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto yang dikonfirmasi wartawan terkait utang tersebut mengatakan, pernyataan Presiden Jokowi tersebut mengacu pada buku ?Statistik Utang Luar Negeri Indonesia?. Dalam buku yang diterbitkan Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia Januari 2015, terdapat utang ke IMF sebesar US $ 3 juta yang dilakukan pada 2009, ketika SBY masih menjadi Presiden.
Pada November 2014, utang Indonesia ke IMF menurut buku tersebut masih sebesar US $ 2,9 juta. ?Masih ada utangnya, tetapi saya tidak tahu itu untuk apa. Silakan tanya ke Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia,? kata Andi.