KATADATA ? Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memprediksi adanya lonjakan impor bahan bakar minyak (BBM) pada kuartal I 2015. Hal ini merupakan konsekuensi dari rendahnya lifting minyak dan terus meningkatnya konsumsi BBM di dalam negeri.
"Pasti (akan berdampak ke impor). Kita kan konsumsinya naik terus," kata Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM I Gusti Nyoman Wiratmadja di Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (24/3).
Dia belum bisa menyebut berapa besar peningkatan impor minyak saat ini. Dia juga yakin peningkatan impor ini tidak berlangsung lama. Impor minyak akan kembali turun seiring dengan tambahan produksi di Blok Cepu dalam beberapa bulan ke depan.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyebut realisasi rata-rata lifting minyak dari awal Januari 2015 sampai saat ini tercatat hanya 764.000 barel per hari (bph). Angka ini masih rendah dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP-P) 2015 sebesar 825.00 bph.
Wiratmadja mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan realisasi lifting tersebut rendah. Pertama kata dia adalah kondisi lapangan minyak yang sudah tua. Faktor lainnya adalah harga minyak dunia yang rendah. Harga minyak dunia yang rendah ini membuat beberapa perusahaan mengurangi volume produksinya.
Meski demikian, dia masih optimistis target lifting 2015 sebesar 825.000 bph bisa tercapai. Keyakinan ini berdasarkan laporan dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (SKK Migas), mengenai produksi Lapangan Banyu Urip dan Blok Cepu akan mencapai puncaknya pada Agustus 2015. Pada puncak produksi, blok migas tersebut dapat menghasilkan 165.000 bph.
Sekretaris SKK Migas Gde Pradnyana mengatakan untuk memaksimalkan produksi di Blok Cepu, masih menunggu revisi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Revisi ini dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). "Mestinya April ini, revisi amdal keluar," ujar dia.
Kementerian Keuangan sudah menyadari penerimaan migas tahun ini akan berkurang. Pengurangan penerimaan ini akibat target lifting minyak yang sulit untuk mencapai target. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengaku pesimistis target lifting minyak bisa tercapai tahun ini. Bahkan dia menyebut lifting minyak tahun ini bisa di bawah 800.000 barel per hari.
Sulit terkejarnya target lifting ini karena mayoritas sumur minyak yang sudah tua. Sementara menggunakan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR), untuk meningkatkan produksi sumur tua, memerlukan biaya yang sangat mahal. Di sisi lain banyak juga perusahaan migas yang akhirnya menyatakan keluar dari Indonesia. (Baca: 10 Wilayah Kerja Migas Tidak Laku Dilelang)
Staf Khusus Wakil Presiden Bidang Ekonomi dan Keuangan Widjayanto Samirin juga mengungkapkan hal yang sama dengan Menteri Keuangan. Sumur tua, tidak menemukan cadangan minyak baru, dan teknologi yang mahal, membuat investasi di industri ini tidak lagi menarik. (Baca: Perusahaan Migas Asing Akan Hengkang dari Indonesia)
Belum lagi, adanya aturan membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) bagi perusahaan migas yang masih melakukan tahap eksplorasi, juga dinilai membebani. (Baca: 23 Kontraktor Migas Terjerat Sengketa Pajak Rp 3,2 Triliun)