Bonus Demografi: Peluang atau Ancaman

KATADATA/
KATADATA | Arief Kamaludin
Penulis:
8/10/2013, 13.24 WIB

Indonesia saat ini tengah memperoleh jendela kesempatan demografi (demographic window of opportunity). Penduduk Indonesia saat ini tergolong muda. Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, rata-rata berusia 27,8 tahun dengan rasio ketergantungan per 100 penduduk sebesar 51 persen.
 
Artinya penduduk Indonesia saat ini tengah dalam usia produktif dengan beban tanggungan yang rendah. Setiap dua orang penduduk hanya menanggung beban satu orang penduduk tidak produktif. Sejumlah pihak sering menyebutnya sebagai bonus demografi, meskipun istilah ini menimbulkan kerancuan karena seolah-olah jumlah penduduk ini sebagai bonus yang terberikan begitu saja.
 
"Bonus itu bisa kita dapatkan bila sudah ada usaha. Kalau pemerintah tidak berbuat apa-apa pada struktur penduduk yang menguntungkan untuk perekonomian, maka akan sia-sia saja. Alias menjadi demographic disaster," kata Evi Nurvidya Arifin, peneliti Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) kepada KATADATA.
 
Situasi demografi Indonesia saat ini mirip dengan Korea Selatan pada dekade 1980-an. Sekarang Korea diklasifikasikan sebagai negara berpendapatan tinggi oleh Bank Dunia dengan produk domestik bruto (PDB) per kapita sekitar US$ 22.500.
 
Pada dekade 1960 dan awal 1970-an, perekonomian Indonesia dan Korea relatif setingkat. Saat ini, PDB per kapita Indonesia hanya US$ 3.500 atau seperempat dari pendapatan per kapita Korea.

PDB-per-Kapita-Indonesia_Korea (KATADATA)



Keberhasilan Korea mendorong perekonomian terutama kebijakannya yang fokus pada produk ekspor, terutama dari industri manufaktur. Di samping pula melakukan investasi yang progresif di bidang pendidikan, teknologi, dan infrastruktur.
 
Di bidang pendidikan, Korea berada di peringkat lima besar negara dengan tingkat pendidikan terbaik berdasarkan standar Programme for International Student Assessment (PISA) yang dikeluarkan OECD.
 
Namun satu hal yang terlewatkan dari catatan keberhasilan Korea adalah keberhasilannya dalam memanen dividen demografi. Dividen demografi maksudnya percepatan pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan melalui perubahan struktur usia penduduk. Ketika jumlah kelahiran menurun, maka pertumbuhan penduduk usia muda melambat dibandingkan penduduk usia produktif.
 
"Jumlah anak yang banyak dilihat dapat menghambat perekonomian, karena membuat keluarga tak bisa melakukan investasi. Pendapatan yang ada habis untuk membiayai dan mengurusi keperluan barang dan jasa untuk anak-anaknya," kata Evi.
 
Dengan jumlah penduduk yang mesti ditanggung sedikit, maka suatu negara memperoleh jendela kesempatan untuk mendorong perekonomiannya lebih cepat. Ini hanya bisa tercapai jika pemerintahnya dapat membuat kebijakan sosial dan ekonomi yang tepat.
 
Ini yang terjadi pada Korea. Dari tingkat kelahiran per perempuan sebesar 6,2 pada awal 1960-an, berhasil ditekan menjadi 2,8 kelahiran per perempuan pada awal 1980-an. Pada 2011, tingkat kelahiran per perempuan hanya sebesar 1,2 kelahiran.

Fertilitas-per-Perempuan_Indonesia_Korea (KATADATA)

Keberhasilan Korea mengendalikan jumlah kelahiran menuai keuntungan sejak dekade 1980-an dengan rasio ketergantungan penduduknya sebesar 52,4 per 100 penduduk.  Pada saat yang sama, PDB per kapitanya naik dari US$ 200 pada awal 1970-an menjadi US$ 6.000 pada awal 1990.
 
Sementara Indonesia, meski juga melakukan program keluarga berencana namun tingkat kelahiran per perempuannya tidak menurun secara drastis sebagaimana di Korea. Dari 5,7 kelahiran per perempuan pada awal 1960, Indonesia hanya bisa menurunkannya menjadi 4,4 kelahiran pada 1980. Pada 2011, tingkat kelahiran per perempuan di Indonesia sebesar 2,4 kelahiran.
 
Berdasarkan data Divisi Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa, usia penduduk Indonesia sejak 1950-an hingga saat ini sebetulnya cukup muda antara 20-27 tahun. Namun tingkat rasio ketergantungannya yang masih tinggi.
 
Ketika Korea berhasil menuai dividen demografi pada dekade 1980-an, rasio ketergantungan penduduk di Indonesia mencapai 74,4 per 100 penduduk. Ini bahkan lebih tinggi dari rasio pada 1950-an sebesar 73,2 per 100 penduduk.  Alhasil perekonomian Indonesia tidak bisa tumbuh secepat Korea. Pada awal 1970-an PDB per kapita Indonesia US$ 85 dan pada 1990 hanya naik menjadi US$ 600.
 
Menurut Evi, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerintah perlu menekan angka pertumbuhan penduduk. Salah satunya dengan kembali menjalankan program Keluarga Berencana, karena banyak anak banyak rejeki tidak selalu benar.
 
"Karena saat pendapatan rendah jumlah anak banyak justru rejeki sulit. Anak-anak tidak bisa berpendidikan tinggi, dan artinya potensi tenaga kerja menjadi kurang produktif bagi perekonomian secara makro," ujar Evi.
 
Jika melihat keberhasilan Korea, maka negara tersebut tepat dikatakan tengah menerima "bonus demografi" yang terlihat dari tingkat PDB per kapitanya. Sementara Indonesia sama sekali belum merasakannya karena baru terhampar kesempatan yang mesti dimanfaatkan. Kesempatan ini bisa saja terlewatkan jika pemerintah hanya memandang jumlah penduduknya sebagai pasar belaka.

Reporter: Aria W. Yudhistira