Jaksa KPK : Bank Century Gagal Bukan Karena Krisis

KATADATA | Arief Kamaludin
KATADATA | Donang Wahyu
Penulis:
Editor: Arsip
20/3/2014, 00.00 WIB

KATADATA ? Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai gagalnya Bank Century bukan disebabkan kondisi perekonomian global yang memburuk atau krisis ekonomi, tetapi dikarenakan kondisi struktural Bank Century sendiri. Pernyataan itu menanggapi eksepsi Budi Mulya, terdakwa dalam kasus Bank Century sebelumnya.

Jaksa mengutip pernyataan pengamat ekonomi Ichsanudin Noorsy yang menyatakan pada November 2008 Indonesia tidak mengalami krisis ekonomi dan perbankan. Menurutnya kondisi perbankan cukup sehat dalam menghadapi gejolak nilai tukar, pelemahan rupiah menurun 16,3 persen atau mencapai Rp 10.950.

Menurut Jaksa, kinerja Bank Umum cukup kuat, yang terlihat rasio kecukupan modal (CAR) sebesar 16,7 persen pada November 2008, dan justru meningkat menjadi 16,76 persen pada Desember 2008. Rasio kredit bermasalah (NPL) menurut jaksa juga terus menurun sejak 2007 hingga Desember 2009. Pada Desember 2008, rasio aset bermasalah 2,07 persen, sedangkan rasio kredit bermasalahan 3,34 persen. Pada Desember 2008, rasio aset bermasalah memang meningkat menjadi 2,37 persen, tetapi rasio kredit bermasalah justru turun menjadi 3,2 persen.

"Dari statistik itu menunjukkan bahwa perbankan Indonesia tidak sedang mengalami krisis," ujarnya.

Dalam rapat bidang ekonomi pada 20 November 2008, yang dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia Boediono. Saat itu Jusuf Kalla menanyakan kepada semua yang hadir terkait "apakah ada masalah ekonomi yang serius", "Namun Menteri Keuangan maupun Gubernur BI tidak ada yang mengatakan ada masalah serius dengan perekonomian Indonesia," ujar Jaksa di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta 20 Maret 2014.

Jaksa berpendapat Bank Century bukanlah bank yang berdampak sistemik sehingga perlu penyelamatan dan pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dari Bank Indonesia. Menurut jaksa, Bank Century tidak memiliki pengaruh yang besar dan mengganggu kepercayaan publik. Menurut Jaksa, penetapan bank gagal harus sesuai aturan seperti penetapan batas biaya penyelamatan pada saat diputuskan berdampak sistemik harus didasarkan neraca harian saat itu.

Jaksa mengatakan bahwa dalam dalam proses penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, Budi Mulya dan pihak terkait mengabaikan hasil pemeriksaan Direktorat Pengawasan Bank 1 (DPB1) yang menyatakan bahwa Bank Century sudah bermasalah sejak tahun 2005 sampai tahun 2008 Dalam eksepsi sebelumnya dikatakan Budi Mulya tidak memiliki kesatuan kehendak dengan Robert Tantular karena hal itu merupakan kewenangan Direktorat Pengawasan Bank, bukan kewenangan Budi Mulya. Jaksa berpendapat Budi Mulya tak perlu menjadi Deputi Gubernur Bidang Pengawasan untuk mengetahui Bank Century bermasalah. Karena untuk mengetahui kondisi bank bermasalah termasuk Bank Century selalu dibahas dalam Rapat Dewan Gubernur BI.

"Berdasarkan uraian diatas, keberatan/eksepsi yang diuraikan tim penasehat hukum terdakwa harus ditolak atau dinyatakan tidak dapat diterima," ujar Jaksa.

Dalam pembacaan nota keberatan (eksepsi) Budi Mulya, tim penasehat hukum menyebutkan situasi krisis pada saat itu yang yang mendorong pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penyertaan modal sementara kepada Bank Century. Namun jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak menyinggung sedikit pun kondisi krisis saat itu.   Budi Mulya menyebutkan sejumlah fakta bahwa pada 2008 indeks harga saham (IHSG) turun drastis hingga lebih dari 50 persen dari 2.830 menjadi 1.155 poin pada 20 November 2008. Gejolak pasar modal ini berdampak pada kelangkaan dan kesulitan likuiditas. Keadaan ini menyebabkan pinjaman antarbank tidak berjalan, sehingga menimbulkan kepanikan di kalangan pelaku pasar dan kepercayaan antar para pelaku pasar rendah.

Pengacara Budi Mulya juga memaparkan pendapat sejumlah pengamat ekonomi seperti Drajad Wibowo, Rizal Ramli, dan Bambang Soesatyo yang menyatakan kondisi krisis pada saat itu.

Reporter: Redaksi