KATADATA ? Majalah The Economist sejak 1986 mengeluarkan indeks Big Mac untuk mengukur nilai tukar berdasarkan faktor kemampuan daya beli atau purchasing-power parity (PPP) di masing-masing negara. Indeks ini mengandaikan perbandingan harga burger ?Big Mac? di dua negara.
Misalnya, harga Big Mac di Amerika Serikat (AS) pada Januari 2014 sebesar US$ 4,62, sedangkan di Indonesia US$ 2,3 per potong. Alhasil berdasarkan nilai dasarnya, rupiah undervalued sebesar 50,2 persen dibandingkan dolar AS pada saat yang sama.
Namun perhitungan berdasarkan nilai dasar ini mendapat kritik karena tidak memasukkan unsur upah buruh yang lebih murah di negara-negara berkembang. The Economist kemudian mengeluarkan indeks yang telah disesuaikan (adjusted) dengan memasukkan faktor PDB per kapita. (Baca: Kenapa Rupiah Harus Menguat?)
Berdasarkan indeks Big Mac yang telah disesuaikan ini, nilai rupiah per Januari 2014 justru berada di bawah harga dolar AS atau undervalued sebesar 12,35 persen. Ini merupakan posisi terendah rupiah sejak 2011. Pada Januari tahun lalu, berdasarkan indeks ini rupiah mengalami overvalued sebesar 9,6 persen dibandingkan dolar AS. Ketika itu, rupiah berada di angka Rp 9.767 per dolar AS.
Seiring dengan terjadinya pelemahan terhadap rupiah, nilai rupiah hanya overvalued 3,6 persen per Juli 2013. Pada saat itu rupiah berada di posisi Rp 9.965 per dolar AS.
Jika mengacu pada indeks Big Mac, maka sewajarnya jika rupiah akan menguat pada tahun ini seperti yang diprediksi sejumlah analis. Proses penguatan ini semakin cepat dengan pencalonan Jokowi sebagai presiden yang terbukti telah mendorong aliran dana asing masuk ke pasar finansial domestik. Pencalonan Jokowi dipandang akan memberikan kepastian dalam politik Indonesia.