Harga minyak dunia anjlok dan semakin menjauh dari asumsi ICP pada APBN 2o20 sebesar US$ 63 per barel. Penerimaan negara pada tahun ini pun diprediksi semakin sulit mencapai target, terutama terkait perpajakan.
Kepala Ekonom Bank Central Asia David Sumual menyebut penerimaan pajak terancam kembali seret akibat penurunan tersebut. "Dampak harga minyak ke APBN yakni penerimaan pajak yang akan turun pula," kata David kepada Katadata.co.id, Selasa (21/4).
Penerimaan pajak yang diperkirakan turun berasal dari pajak ekspor minyak yang berpotensi anjlok. Selain itu, permintaan minyak dalam negeri yang kemungkinan menurun turut menjadi faktor seretnya penerimaan pajak.
Di sisi lain, penurunan harga minyak juga akan berpengaruh pada belanja subsidi pemerintah. "Subsidi BBM kemungkinan turun bahkan nihil, tergantung asumsi kurs," ucap dia.
Meski demikian, ia berpendapat bahwa harga minyak yang anjlok akan positif terhadap defisit anggaran. Namun, perkiraan defisit anggaran secara keseluruhan masih akan sangat fluktuatif tergantung perkembangan virus corona.
(Baca: Harga Minyak Anjlok, Pertamina Jelaskan Alasan BBM Tak Turun)
Adapun pemerintah perlu berhati-hati dalam menanggapi penurunan harga minyak. Ini lantaran harga minyak yang dipatok pemerintah tak bersifat mengambang seperti negara lain.
Senada, Peneliti Ekonomi Senior Institut Kajian Strategis Universitas Kebangsaan Eric Sugandi menilai penurunan harga minyak berdampak negatif pada penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak yang berkait dengan migas.
"Walaupun penurunan harga migas bisa menurunkan beban subsidi BBM, tapi penurunan dari sisi penerimaan ini akan lebih besar daripada penurunan pengeluaran pemerintah," kata Eric kepada Katadata.co.id, di waktu yang berlainan.
Berbeda dengan David, Erci menilai penurunan harga minyak berpotensi mengerek defisit APBN. Di sisi lain, penurunan harga minyak dapat menekan defisit migas di neraca dagang.
"Ini bisa membantu menurunkan defisit transaksi berjalan dari defisit neraca dagang migas. Surplus neraca dagang naik, dan defisit neraca jasa dapat mengecil karena biaya transportasi yang turun," tutupnya.
(Baca: Harga Minyak Negatif Buat Emiten Migas Rontok, IHSG Turun 1,62%)
Sebelumnya, harga minyak mentah berjangka Amerika Serikat (AS) atau WTI untuk kontrak Mei untuk pertama kali dalam sejarah anjlok di bawah US$ 0 per barel pada penutupan perdagangan Senin (20/4). Melansir Reuters, harga minyak menutup perdagangan dengan minus US$ 37,63 per barel. Hal ini karena rendahnya permintaan dan pasokan yang menumpuk akibat pandemi virus corona.
Harga minyak yang anjlok hingga negatif disebabkan oleh para pedagang putus asa dan memilih membayar pembeli demi mengurangi pasokan minyak yang tak mampu ditampung lagi. Permintaan minyak mentah dunia memang turun 30% karena pembatasan pergerakan manusia guna mengurangi dampak sebaran virus covid-19.
Adapun Kementerian Keuangan mencatat, realisasi penerimaan pajak hanya mencapai Rp 241,61 triliun pada kuartal I 2020, turun 2,47% dibanding periode yang sama tahun lalu. Penerimaan pajak sudah terkontraksi meski Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut dampak pandemi corona belum sepenuhnya tercermin pada kinerja APBN hingga Maret.
Tekanan pada kinerja penerimaan pajak terutama berasal Pajak Penghasilan migas yang terkontraksi 28,57%. PPh migas yang berhasil terkumpul pada kuartal I 2020 hanya mencapai Rp 10,34 triliun. "Meski kurs melemah, penurunan harga minyak merosot lebih tajam sehingga tetap berdampak pada PPh migas yang anjlok," ujar Sri Mulyani dalam konferensi video di Jakarta, Jumat (17/4).
Dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2020 terkait perubahan alokasi APBN 2020, pemerintah telah menurunkan target penerimaan dalam negeri dari Rp 2.230,69 triliun menjadi Rp 1.760.38 triliun akibat pandemi corona. Target penerimaan perpajakan dipangkas dari Rp 1.865,7 triliun menjadi Rp 1.462,63 triliun. Adapun target penerimaan PPh migas juga diturunkan dari Rp 57,42 triliun menjadi Rp 43,75 triliun.