Jokowi Waspadai Risiko Bengkaknya Defisit APBN 2020 Akibat Dana Corona

Katadata
Penanganan corona dan stimulus program pemulihan ekonomi nasional membuat defisit APBN tahun ini berpotensi mencapai 6,27% dari PDB.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
3/6/2020, 13.24 WIB

Presiden Joko Widodo alias Jokowi mengakui defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 semakin dalam karena adanya tambahan belanja untuk penanganan pandemi corona atau Covid-19 dan program pemulihan ekonomi nasional.

“Ini membawa konsekuensi adanya tambahan belanja yang berimplikasi pada meningkatnya defisit APBN,” kata Jokowi saat membuka rapat terbatas melalui konferensi video, Rabu (3/6).

Atas dasar itu, Jokowi meminta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Kepala Bappenas Suharso Monoarfa untuk menghitung kembali risiko fiskal secara cermat. Sehingga, keuangan negara tidak semakin terbebani.

Presiden juga meminta agar perubahan postur APBN 2020 benar-benar dilakukan secara hati-hati, transparan, dan akuntabel. “Sehingga APBN 2020 bisa dijaga, bisa dipercaya, dan tetap kredibel,” kata Jokowi.

(Baca: Penerimaan Pajak Terpukul Pandemi, Defisit APBN hingga April Rp 74,5 T)

Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya memperkirakan defisit APBN berpotensi melebar mencapai Rp 1.028,5 triliun atau 6,27% terhadap PDB. Angka ini lebih besar ketimbang outlook defisit APBN 2020 yang sebesar Rp 852,9 triliun atau 5,07% terhadap PDB dalam Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2020.

"APBN bisa defisit Rp 1.028,5 triliun atau 6,72% dalam rangka memerangi dan mendorong ekonomi agar bertahan di tengah tekanan virus corona dan diharapkan bisa pulih lagi," ujar Sri Mulyani dalam konferensi video, Senin 18 Mei 2020.

Sri Mulyani memerinci, outlook pendapatan negara tahun ini hanya akan mencapai Rp 1.691,6 triliun, turun 13,6% dibandingkan realisasi 2019 sebesar Rp 1.957,2 triliun. Angka ini juga lebih rendah Rp 69,3 triliun dari target Perpres 54 tahun 2020 yang sebesar Rp 1.760,9 triliun.

Outlook pendapatan negara tersebut pun terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.404,5 triliun dan penerimaan negara bukan pajak Rp 286,6 triliun.

(Baca: Defisit Anggaran Melebar, Target Pembiayaan Utang Naik Jadi Rp 1.206 T)

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menilai outlook penerimaan perpajakan dan PNBP tersebut terkontraksi masing-masing 9,2% dan 29,6% dibandingkan tahun lalu. "Ini akibat dari begitu banyak insentif pajak diberikan dan pelemahan ekonomi di semua sektor," katanya.

Di tengah pendapatan negara yang semakin seret, belanja negara justru diproyeksi lebih tinggi Rp 106,3 triliun dibandingkan Perpres 54 tahun 2020 sebesar Rp 2.613,8 triliun. Dalam outlook perubahan APBN 2020, belanja negara dipatok sebesar Rp 2.720,1 triliun.

Belanja negara terdiri dari Rp 1.959,4 triliun belanja pemerintah pusat. Kemudian Rp 760,7 triliun untuk transfer ke daerah dan dana desa.

Dalam kenaikan belanja tersebut, terdapat tambahan kompensasi Rp 76,08 triliun. Perinciannya, Rp 38,25 triliun untuk PT PLN dan Rp 37,38 triliun untuk PT Pertamina. Dengan demikian, secara keseluruhan total kompensasi untuk PLN mencapai Rp 45,42 triliun dan Pertamina Rp 45,02 triliun.

(Baca: Beda Sikap Tiongkok dengan RI soal Utang untuk Stimulus Pandemi Corona)

Selain itu, terdapat pula tambahan stimulus fiskal yang terdiri dari subsidi bunga UMKM, termasuk UMi Rp 34,2 triliun, diskon tarif listrik menjadi 6 bulan Rp 3,5 triliun, bantuan sosial tunai dan sembako hingga Desember Rp 19,62 triliun, serta cadangan stimulus Rp 60 triliun dari tambahan belanja Rp 40,7 triliun dan realokasi dari dana stimulus yang tak terpakai.

Meski demikian, terdapat pula penghematan lanjutan belanja kementerian/lembaga sebesar Rp 50 triliun dan penghematan belanja pegawai THR dan Gaji 13 sebesar Rp 12,4 triliun.

Reporter: Dimas Jarot Bayu