PT Minarak Lapindo Jaya tak kunjung dapat melunasi utang kepada pemerintah yang telah jatuh tempo pada 10 Juli 2019. Namun, cucu perusahaan Grup Bakrie tersebut menawarkan asetnya untuk membayar utang kepada pemerintah.
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata mengatakan pihak Lapindo telah mengirimkan surat mengenai penawaran tersebut. "Mereka sudah memilki itikad baik untuk menyelesaikan kewajiban mereka dengan membayarkannya melalui aset saja," kata Isa dalam diskusi daring, Jumat (12/6).
Aset yang ditawarkan terdapat di wilayah terdampak lumpur Lapindo. Adajika nilai aset tersebut masih tak cukup untuk melunasi utang, Lapindo akan membayarkannya menggunakan aset di wilayah lain.
Pemerintah, menurut dia, sebenarnya ingin Lapindo melunasi utang dengan uang tunai. Namun setelah melalui proses konsultasi Kejaksaan Agung, tercapailah persetujuan pembayaran utang melalui aset.
"Mereka punya itikad baik mereka mau bayar dalam bentuk lain dan ini harus direspon," ujarnya.
(Baca: Kementerian PUPR Siapkan Rp 239,7 Miliar untuk Tangani Lumpur Lapindo)
Saat ini, pihaknya telah menyiapkan proses penilaian aset Lapindo. Meski demikian, penilaian aset ke lapangan belum bisa dilakukan karena masih adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar.
Pokok utang dana talangan Minarak Lapindo, sesuai Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2018 mencapai Rp 773,382 miliar. Pokok utang tersebut belum termasuk bunga 4% dengan perjanjian selama empat tahun sejak Juli 2015 atau sebesar Rp 126,83 miliar.
Selain itu, ada juga denda atas keterlambatan pembayaran utang yaitu sebesar Rp 699,13 miliar. Dengan demikian, total utang yang wajib dibayarkan anak Lapindo Brantas Inc. kepada pemerintah mencapai Rp 1,564 triliun per akhir 2018. Sejauh ini, Lapindo baru melakukan pembayaran Rp 5 miliar pada Desember 2018.
(Baca: Pekan Depan, Pemerintah Tarik Utang Lewat Lelang SUN Maksimal Rp 40 T)
Sebelumnya, Lapindo Brantas Inc. dan PT Minarak Lapindo sempat mengajukan skema penukaran utang dengan pemerintah. Lapindo menganggap pemerintah memiliki utang sebesar US$ 138,2 juta atau sekitar Rp 1,9 triliun kepada perseroan. Klaim utang tersebut berasal dari penggantian biaya eksplorasi minyak dan gas atau cost recovery.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas menilai klaim Lapindo tersebut tidak tepat. Lapindo belum berhasil menemukan cadangan migas sehingga belum bisa diberikan biaya penggantian. Selain itu, biaya penggantian pun tidak dibayarkan tunai melainkan berbentuk produksi migas.
“Ini bukan piutang Lapindo ke pemerintah, namun unrecovered cost atas biaya investasi yang belum dikembalikan sesuai mekanisme production sharing contract wilayah kerja Brantas,” ujar Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Wisnu Prabawa Taher.