Berharap Pemulihan Ekonomi dengan Vaksin Normal Baru

ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah/hp.
Presiden Joko Widodo meninjau salah satu pusat perbelanjaan di Bekasi, Jawa Barat, Selasa (26/5/2020). Kehadiran Presiden itu untuk meninjau persiapan new normal.
Penulis: Pingit Aria
14/6/2020, 10.36 WIB

Pemerintah telah memutuskan untuk menjalankan kebijakan normal baru atau new normal untuk mendorong pemulihan ekonomi. Meski, pandemi Covid-19 belum menunjukkan adanya tanda-tanda akan berakhir.

Presiden Joko Widodo menjelaskan bahwa tatanan kehidupan baru di tengah pandemi virus corona baru merupakan keniscayaan yang harus dijalani. Menurutnya, hidup berdampingan dengan Covid-19, dengan mempertimbangkan data dan fakta perkembangan pandemi, bukan berarti menyerah.

Ia mengajak masyarakat melawan wabah untuk beraktivitas dengan mengedepankan protokol Kesehatan. Dengan begitu, warga dapat dapat kembali berkegiatan secara produktif dan tetap aman.

"Keselamatan masyarakat tetap harus menjadi prioritas. Kebutuhan kita sudah pasti berubah untuk mengatasi risiko wabah ini. Itu keniscayaan, itulah yang oleh banyak orang disebut sebagai new normal," ujarnya, 18 Mei 2020 lalu.

Salah satu pertimbangan Presiden adalah pernyataan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menilai bahwa virus corona yang berasal dari Wuhan ini tidak akan segera menghilang. Virus yang menyerang saluran pernapasan itu diprediksi akan tetap ada di tengah masyarakat dalam waktu cukup lama.

"Artinya kita harus berdampingan hidup dengan Covid-19. Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, berdamai dengan Covid-19. Sekali lagi, yang penting masyarakat produktif, aman, dan nyaman," ujarnya.

(Baca: Kasus Covid-19 Bertambah 1.014 Orang, Paling Banyak di Lima Provinsi)

Presiden optimistis jika masyarakat mematuhi protokol kesehatan, seperti menjaga jarak aman, mengenakan masker, dan sering mencuci tangan dengan sabun, maka penularan dapat dicegah.

Kepala Negara juga menekankan pemerintah terus memantau waktu terbaik bagi dimulainya normal baru. Beberapa sektor usaha dengan risiko penularan kecil, namun dampak ekonominya besar dapat menjadi prioritas untuk Kembali beroperasi.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, protokol dalam menjalankan normal baru sedang diupayakan untuk kembali memutar roda ekonomi. Strategi tersebut, kata Airlangga, akan mencakup kriteria yang menentukan kesiapan masing-masing daerah.

Kriteria yang akan digunakan pemerintah, antara lain adalah reproduction rate untuk melihat perkembangan pandemi virus Corona tipe baru di sejumlah daerah.

Bila daerah mempunyai reproduction rate atau R0 di atas 1 maka daerah tersebut masih di tahap penularan yang tinggi. Sementara bila R0 di bawah 1, itu menandakan kurva penyebaran Covid-19 mulai landai. "Bila kurang dari satu sudah bisa dibuka untuk normal baru," ujarnya.

SIMULASI DAN SOSIALISASI PENERAPAN NORMAL BARU DI ACEH BARAT (ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/wsj.)

Kriteria lainnya adalah kesiapan daerah yang dinilai berdasarkan aspek epidemiologi. Kesiapsiagaan pemerintah daerah dan kedisiplinan masyarakat juga menjadi faktor penentu.

Nantinya, pemerintah pusat akan memberikan skor 1-5 yang merepresentasikan kesiapan daerah untuk memasuki fase kehidupan baru. Tahap 1 belum siap, sedangkan tahap 5 sudah siap.

(Baca: KAI Antisipasi Lonjakan Penumpang KRL pada Awal Pekan Depan)

Sejumlah sektor industri juga sedang menyiapkan standar operasional untuk memasuki kehidupan normal baru yang akan dikoordinasikan dengan Satuan Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.

Menurut rencana, normal baru sebagai standar baru kegiatan itu juga berlaku di berbagai sektor, misalnya pariwisata, pendidikan, restoran, akomodasi, rumah ibadah, transportasi dan lainnya.

Berdasarkan data hingga pertengahan Juni 2020, hanya 92 kabupaten kota di Indonesia yang belum terdampak Covid-19, sisanya 136 berisiko rendah, 220 sedang dan 66 tinggi.

Anggaran

Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan normal baru, pemerintah menambah anggaran penanganan pandemi Covid-19 hingga Rp 677,2 triliun.

Dari jumlah tersebut ,sebanyak Rp 589,65 triliun ditujukan untuk pelaksanaan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Di antaranya, untuk bantuan perlindungan sosial Rp 203,9 triliun, insentif perpajakan Rp 123,01 triliun, restrukturisasi UMKM dan padat karya Rp 82,2 triliun serta subsidi bunga Rp 35,28 triliun.

Dengan adanya penambahan anggaran, maka defisit anggaran juga diperlebar menjadi 6,34% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau sebesar Rp 1.039,2 triliun.

Pemerintah menyadari program ini perlu dilaksanakan secara beriringan dengan normal baru karena ekonomi Indonesia mengalami tekanan berat dari sisi produksi. Selain itu, pendapatan serta daya beli masyarakat juga terus mengalami penurunan, padahal komponen terbesar pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB) adalah konsumsi rumah tangga.

(Baca: Dua Kebijakan Hadapi Covid-19, Kesehatan Sekaligus Pemulihan Ekonomi)

Kondisi ini apabila terjadi secara berlarut-larut dapat menyebabkan terjadinya penurunan kelas masyarakat yang berpotensi melahirkan masalah sosial baru.

Bagaimanapun, pemerintah juga mempunyai keterbatasan. Pendanaan untuk masyarakat atau industri itu hanya cukup untuk sekitar enam bulan.

Dengan kucuran berbagai stimulus, pelaksanaan kegiatan ekonomi nasional di berbagai sektor diharapkan dapat kembali pulih secara bertahap.

Kegiatan yang beriringan dengan normal baru ini juga diharapkan dapat meningkatkan kembali pendapatan pajak yang terjadi melalui transaksi jual beli. Pajak ini penting karena pemerintah tidak mungkin terus mengandalkan pembiayaan dari utang maupun pinjaman untuk menangani dampak Covid-19.

Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Raden Pardede memastikan kebijakan normal baru akan terjadi hingga vaksin virus corona ditemukan. "Mudah-mudahan tahun depan kita sudah mendapatkan vaksin dan tersebar ke seluruh masyarakat Indonesia," katanya dalam webinar di Jakarta, Selasa (9/6).

Nantinya, saat vaksin telah ditemukan paling cepat pada 2021, ekonom senior ini memperkirakan ekonomi Indonesia baru bisa pulih sebagian. "Ini mungkin butuh waktu setengah hingga satu tahun lagi, tahun 2022 hingga 2023 baru dia kembali ke pra Covid-19," ujarnya, dikutip Antara.

Sebelumnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 2,97% pada triwulan I 2020. Padahal, kasus pertama Covid-19 di Indonesia baru diumumkan pada 2 Maret 2020. Perekonomian diprediksi akan merosot pada posisi terbawah pada April-Mei 2020 karena kinerja konsumsi rumah tangga yang melambat.

(Baca: Menaker Sebut 3 Juta Pekerja Dirumahkan dan Kena PHK Imbas Corona )

Untuk itu, sasaran utama dalam kebijakan normal baru adalah memulihkan pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan menekan angka kemiskinan.

Tak hanya dari pemerintah, Raden mendorong swasta juga ikut mendorong perekonomian nasional usai pandemi berakhir agar ekonomi Tanah Air bisa kembali pulih. "Ini yang diharapkan menjadi pemicu untuk menggerakkan kita tumbuh ke depan," katanya.

Berikutnya, skenario pemulihan ekonomi.

Halaman:
Reporter: Antara