Pemerintah telah menaikkan tarif cukai rokok menjadi 23% dengan harga jual eceran (HJE) yang juga naik 35% pada awal tahun ini. Meski demikian, harga rokok di pasaran belum naik karena masih adanya kebijakan 'diskon' rokok.
Peneliti Indonesian Corruption Watch Emerson Yuntho memperkirakan pendapatan negara berpotensi hilang sebesar Rp 2,6 triliun akibat diskon rokok. "Ini merupakan potensi hilangnya penerimaan PPh Badan," kata Emerson dalam sebuah diskusi daring, Kamis (18/6).
Adapun aturan diskon rokok tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146 tahun 2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Meski telah direvisi menjadi PMK Nomor 156 Tahun 2018, ketentuan diskon rokok tidak berubah.
Dalam beleid tersebut, harga transaksi pasar (HTP) yang merupakan harga jual akhir rokok ke konsumen, boleh 85% dari HJE atau banderol yang tercantum dalam pita cukai. Dengan demikian, konsumen mendapatkan keringanan harga 15% dari tarif yang tertera.
(Baca: Kendalikan Jumlah Perokok, Pemerintah Diminta Naikkan Lagi Cukai Rokok)
Tak hanya itu, produsen juga dapat menjual rokok di bawah 85% dari banderol asalkan dilakukan tidak lebih dari 40 kota yang disurvei Kantor Bea Cukai.
Di sisi lain, Emerson mengatakan bahwa diskon rokok bisa membuat jumlah perokok aktif di Indonesia meningkat. Adapun menurut data Kementerian Kesehatan jumlah perokok aktif di Indonesia mencapai 85 juta pada 2018. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah tersebut bisa melonjak menjadi 98 juta orang atau 45% dari populasi pada 2025.
Dengan begitu, Emerson menyebut, aturan diskon rokok tersebut sangat kontradiktif dengan kebijakan kenaikan cukai rokok. "Ini jadi pertimbangan untuk mencabut aturan diskon rokok tersebut, sekaligus optimalisasi penerimaan negara," ujarnya.
Namun pelaksana tugas (Plt.) Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Oka Kusumawardani menyebut aturan harga jual akhir rokok kepada konsumen boleh 85% bukan tanpa alasan. "Kebijakan itu untuk memberi ruang gerak produsen. Jadi itu bukan diskon," kata Oka dalam diskusi yang sama.
(Baca: Pandemi Corona, Pabrik Rokok Boleh Tunda Bayar Cukai Hingga 3 Bulan)
Dia mengungkapkan bahwa sejauh ini pendapatan negara melalui bea dan cukai masih bisa tumbuh positif. Tercatat, penerimaan bea dan cukai per Mei 2020 yakni sebesar Rp 81,51 triliun, tumbuh 12,15% dibanding periode yang sama tahun lalu.
Namun, pertumbuhan tersebut terlihat melambat karena tahun lalu penerimaan bea dan cukai tumbuh hingga 35,12%. Oka menjelaskan bahwa perlambatan tersebut disebabkan kontraksi pertumbuhan penerimaan di pos penerimaan cukai, bea masuk, dan bea keluar.
Pertumbuhan penerimaan cukai dari minuman mengandung ethil alkohol anjlok 27,32% dari Rp 2,46 triliun menjadi Rp 1,79 triliun. Sedangkan penerimaan cukai lainnya juga turun 27,83%.
Sementara bea masuk terkontraksi hingga 7,86% dari Rp 14,97 triliun menjadi Rp 13,79 triliun. Penerimaan bea keluar juga turun 27,45% dari Rp 1,5 triliun menjadi Rp 1,09 triliun.
(Baca: Imbas Wabah Corona, Penerimaan Kepabeanan Turun Lebih dari 5%)