Pemerintah memasang target penerimaan perpajakan pada 2021 meningkat 2,6% sampai 10,5% year on year (yoy). Secara nominal penerimaan ditargetkan sebesar RP 1.441,07 triliun sampai Rp 1.551,9 triliun. Target dipasang berdasarkan proyeksi ekonomi tahun depan yang membaik setelah tertekan pandemi virus corona.
Hal ini disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat rapat dengan Badan Anggaran DPR, Kamis (18/6). Ia merinci target tersebut berasal dari penerimaan pajak sebesar Rp 1.232,3 triliun sampai Rp 1.331,8 triliun atau tumbuh 2,8% sampai 11,1% yoy serta dari kepabeanan dan cukai sebesar Rp 207,75 triliun sampai Rp 219,89 triliun atau tumbuh 1% sampai 6% yoy.
“Penghitungan ini menjadi baseline perrhitungan penerimaan perpajakan tahun 2021 yang juga mencakup kebijakan insentif perpajakan yang akan diberikan, dan strategi optimalisasi penerimaan yang akan dilakukan,” kata Sri Mulyani.
Sebaliknya, dalam kesempatan ini, Sri Mulyani menyatakan proyeksi penerimaan perpajakan 2020 turun 9,2% yoy dengan realisasi nominal sebesar Rp 1.404,5 triliun. Penerimaan perpajakan tahun ini memang sedang seret akibat banyak sektor usaha terpukul pandemi corona. Ini terlihat dari laporan APBN KiTa per 31 Mei yang disampaikan Kemenkeu pada 16 Juni lalu.
(Baca: Pemerintah Akan Turunkan PPN Produk Primer Pangan Menjadi 2%)
Dalam laporan itu disebutkan, penerimaaan perpajakan terkontraksi 10,8% dibandingkan periode sama tahun lalu dengan realisasi sebesar Rp 444,6 triliun. Penerimaan PPh Migas paling terkontraksi sebesar 35,6% dengan realisasi Rp 17 triliun. Jauh dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp 26,4 triliun.
Sementara PPh Non-Migas terkontraksi sebesar 10,4% dengan realisasi sebesar Rp 264,8 triliun meskipun masih berada dalam koridor Perpres 54/2020 yang memproyeksikan kontraksi di sekitaran 10%. Kemudian PPN terkontraksi sebesar 8,0% dengan realisasi sebesar Rp 160 triliun.
Dilihat dari pajak per jenis, hanya PPH OP dan PPh 26 yang tak mengalami kontraksi. Masing-masing tumbuh 0,55% dan 14,33%. Pertumbuhan PPH OP dipengaruhi kebijakan pergeseran pencatatan, sementara PPH 26 dipengaruhi tak berulangnya restitusi besar pada Februari 2019.
Dalam mematok target penerimaan perpajakan tahun depan, Sri Mulyani menyatakan telah mempertimbangkan ketidakpastian dan dinamikan perekonomian sepanjang tahun ini. Pemerintah pun menurutnya akan melakukan beberapa kebijakan untuk merealisasikan target tersebut.
(Baca: Sri Mulyani Pangkas Lagi Proyeksi Ekonomi Kuartal II Menjadi 3,8%)
Langkah-Langkah Pemerintah Merealisasikan
Langkah pertama yang akan dilakukan pemerintah dalam meningkatkan penerimaan perpajakan, kata Sri Mulyani, adalah dengan mendorong pemulihan dan transformasi ekonomi. Pemerintah akan lebih selektif dalam memberikan insentif perpajakan, yakni kepada sektor-sektor yang bisa mempercepat pemulihan ekonomi.
Insentif perpajakan tersebut akan diberikan untuk membantu arus kas wajib pajak dan penyediaan sarana dan prasarana kesehatan masyarakat. Selain itu, pemerintah juga akan membebaskan dan menurunkan bea masuk guna mempercepat masuknya investasi dan peningkatan perekonomian. Insentif akan diberikan pula kepada kegiatan vokasi dan litbang untuk meningkatkan sumber daya manusia.
Dari sisi regulasi, pemerintah mendorong terwujudnya Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Perpajakan. Harapannya melalui beleid ini peraturan-peraturan yang selama ini menyulitkan wajib pajak akan dipermudah dan lebih bersahabat secara teknologi.
Sri Mulyani menyatakan akan mengoptimalkan pula penerimaan pajak digital atau perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Sebelumnya, pemerintah telah mendapatkan jalan memburu PPN digital perusahaan asing melalui PMK Nomor 48 tahun 2020 yang menjadi turunan Pasal 6 Perppu Nomor 1 tahun 2020.
(Baca: Jalan Panjang dan Berliku Memburu Pajak Digital Asing)
Melalui peraturan yang akan berlaku mulai 1 Juli tersebut, pemerintah bisa menarik PPN pelaku usaha PMSE asing seperti Netflix dan Spotify sebesar 10%. Dalam naskah akademik RUU Omnibus Law Perpajakan disebutkan potensi dari PPN PMSE sebesar Rp 10,4 triliun dari perkiraan pendapatan transaksi senilai Rp 104,4 triliun.
Langkah selanjutnya yang akan dilakukan pemerintah adalah ekstentifikasi dan pengawasan berbasis kewilayahan. Otoritas pajak akan melakukan pemeriksaan, penagihan, dan penegakan hukum berbasis risiko dan berkeadilan. Hal ini akan diiringi dengan pengembangan fasilitas kepabeadan dan harmonisasi fasilitas fiskal lintas kementerian dan lembaga.
Seluruh langkah tersebut, kata Sri Mulyani, adalah rangkaian dari reformasi perpajakan sampai 2024. Selama kurun pelaksanaannya pemerintah berkomitmen menjaga tax ratio dan keinginan menggunakan pajak sebagai insentif.
“Ini adalah tujuan yang selalu kami seimbangkan,” kata Sri Mulyani.
(Baca: Pajak Seret Akibat Corona, Defisit APBN Bengkak Jadi Rp 179,6 T)