Jokowi Dikabarkan Ingin Kembalikan Pengawasan Bank dari OJK kepada BI

ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/POOL/wsj.
Presiden Joko Widodo sempat menyatakan akan merombak kabinet dan membubarkan badan-badan pemerintah yang tak mampu berbuat cukup untuk membantu mengatasi krisis.
Penulis: Agustiyanti
2/7/2020, 20.53 WIB

Presiden Joko Widodo dikabarkan tengah mempertimbangkan untuk mengeluarkan dekret atau ketetapan darurat guna mengembalikan pengawasan perbankan dari Otoritas Jasa Keuangan ke Bank Indonesia.

Mengutip Reuters pada Kamis (2/7), dua sumber yang mengetahui permasalahan ini mengatakan pertimbangan tersebut muncul seiring ketidakpuasan Jokowi terhadap kinerja OJK selama pandemi corona.

OJK didirikan berdasarkan Undang-Undang tahun 2011 dan berfungsi mengawasi seluruh lembaga jasa keuangan. Sejak berdirinya OJK, pengawasan jasa keuangan yang semula berada di bawah Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia pun perlahan dialihkan.

Pengawasan perbankan menjadi yang terakhir dialihkan ke OJK dari Bank Indonesia pada akhir 2013.

Saat pembentukan OJK, Indonesia menggunakan Inggris sebagai best practice. Adapun, menurut sumber Reuters, Jokowi tengah mempertimbangkan untuk mengubah struktur regulasi jasa keuangan dengan mencontoh Prancis. Di negara tersebut,  pengawas jasa keuangan berbentuk administrasi independen di bawah bank sentral yang mengawasi perbankan.

"BI sangat senang tentang ini, tetapi akan ada tambahan untuk key performance indicator, tidak hanya menjaga mata uang dan inflasi, tetapi juga pengangguran," kata Sumber Reuters.

(Baca: PSBB Dilonggarkan, OJK Catat Permintaan Restrukturisasi Kredit Menurun)

Dikonfirmasi Katadata.co.id, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti mengatakan belum mengetahui informasi tersebut. Ia juga belum menanggapi pertanyaan terkait dampak pengalihan kewenangan ini jika benar-benar direalisasikan.

Deputi Komisioner Humas dan Logistik OJK Anto Prabowo  juga mengatakan tak mengetahui hal tersebut. Ia menegaskan pihaknya saat ini tengah fokus dalam menjalankan fungsi dan tugas lembaganya.

"Itu yang lebih penting dari berbagai hal. Itu yang harus diutamakan karena negara ini sedang membutuhkan biaya untuk penanganan Covid-19," kata Anto ketika ditanya terkait kemungkinan Presiden Joko Widodo mengembalikan wewenang pengawasan perbankan ke BI.

Saat ini, menurut Anto, OJK bekerja berdasarkan Undang-Undang yang sudah ada. Ia enggan menanggapi kemungkinkan pengalihan pengawasan tersebut.  "Belum ada informasi yang sampai ke saya. Kita tidak boleh berandai-andai," katanya.

Katadata.co.id juga berupaya menkonfirmasi informasi ini kepada Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Arif Budimanta, tetapi belum memperoleh tanggapan yang jelas terkait isu pengembalian fungsi pengawasan OJK ke BI.  Arif justru mempertanyakan asal-usul isu tersebut. “Informasi dari mana?” kata Arif.

(Baca: Bank BUMN Optimistis Salurkan Kredit Rp 90 T, Ini Sektor yang Dibidik)

Wacana pengalihan kewenangan ini muncul saat pemerintah juga tengah menegosiasikan bantuan bank sentral untuk mendanai defisit fiskal yang membengkak akibat pandemi corona. Pada rapat kabinet 18 Juni lalu, Jokowi mengatakan akan merombak kabinet dan membubarkan badan-badan negara yang tak mampu berbuat cukup untuk membantu mengatasi krisis.

Badan Pemeriksa Keuangan dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II 2019 yang dirilis pada Mei lalu menunjukkan kelemahan dalam pengawasan OJK terhadap tujuh bank. OJK telah memberikan tanggapan dengan berjanji akan meningkatkan pengawasan.

Tujuh bank yang masuk dalam laporan BPK itu, antara lain PT Bank Bukopin Tbk yang tengah mengalami permasalan permodalan dan likuiditas.

Adapun Bukopin saat ini tengah menunggu uluran calon pemegang saham pengendali baru, PT Kookmin Bank yang akan masuk secara bertahap melalui penerbitan saham baru. Bank asal Korea Selatan ini telah menempatkan dana US$ 200 juta di rekening escrow yang antara lain dipergunakan untuk membantu likuditas dan permodalan bank tersebut.

Ketua Dewan Komisioner Wimboh Santoso pada awal pekan ini menyatakan kondisi perbankan aman. Ia menyebut rata-rata rasio kecukupan modal perbankan masih jauh di atas standar internasional 22,2% pada Mei, sedangkan rasio pinjaman bermasalah sebesar 3,01% dan indikator likuiditas tinggi.

Reporter: Dimas Jarot Bayu, Tri Kurnia Yunianto