Pungut PPN Digital, Sri Mulyani Ramal Penerimaan Pajak Semester 2 Naik

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/ama.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mencatat realisasi penerimaan pajak pada semester I 2020 tercatat Rp 531,7 triliun, turun 12% dibanding periode yang sama tahun lalu.
9/7/2020, 19.50 WIB

Direktorat Jenderal Pajak berencana memungut pajak pertambahan nilai untuk produk digital mulai Agustus mendatang. Menteri Keuangan Sri Mulyani pun memperkirakan pungutan PPN ini akan meningkatkan penerimaan pajak pada semester II 2020. 

"Kami perkirakan semester II penerimaan pajak meningkat menjadi Rp 699,4 triliun," kata Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran DPR, Kamis (9/7).

Aturan pemungutan PPN pada produk digital sudah mulai berlaku pada 1 Juli ini. Adapun enam perusahaan global telah ditunjuk pihaknya sebagai pemungut PPN yakni Amazon Web Services Inc., Google Asia Pacific Pte. Ltd., Google Ireland Ltd., Google LLC., Netflix International B.V., dan Spotify AB. Meski demikian, pungutan baru dapat dilakukan paling cepat pada bulan depan. 

Selain karena pengenaan PPN produk digital, Sri Mulyani menilai peningkatan penerimaan pajak juga akan didorong membaiknya aktivitas ekonomi. "Selain itu diperkirakan juga insentif usaha akan mulai kelihatan hasilnya akibat perbaikan aktivitas ekonomi," ujarnya.

(Baca: Amazon, Google dan Netflix Siap Pungut Pajak Digital Mulai Agustus)

Adapun realisasi penerimaan pajak pada semester I 2020 tercatat Rp 531,7 triliun, turun 12% dibanding periode yang sama tahun lalu Rp 604,3 triliun. Penyebab penurunan tersebut yakni tekanan aktivitas usaha akibat pembatasan sosial pada kondisi pandemi Covid-19.

Dampak perlambatan ekonomi dan pemanfaatan insentif pajak ini menurut Sri Mulyani terlihat pada pertumbuhan negatif pada hampir seluruh jenis penerimaan pajak. Secara perinci, PPh 22 Impor terkontraksi paling tinggi yakni 54,2%. Kemudian, PPh badan turun 41%, PPN Dalam Negeri 27,7%, dan PPN Impor 5,6%.

Sebaliknya, masih ada beberapa jenis pajak yang mampu tumbuh seperti PPh 21 13,5%, PPh orang pribadi 144,3%, PPh 26 19,9%, dan PPh final 6,1%. "Namun PPh OP tidak dapat dianalisis berdasarkan growth karena kita mengalami disrupsi dari sisi pembayaran akibat adanya pandemi sehingga terjadi pergeseran waktu pembayaran dari pajak jenis ini," kata Sri Mulyani.

(Baca: Sri Mulyani Tambah Anggaran Kemenkes Rp 25 T untuk Penanganan Covid-19)

Lebih lanjut, kontraksi juga terlihat pada setoran pajak dari sektor utama perekonomian sebagai dampak perlambatan ekonomi dan turunnya harga komoditas. Penurunan paling dalam terlihat pada penerimaan pajak pada sektor pertambangan yakni 42,2%, disusul sektor industri pengolahan 38,4%, perdagangan 21,2%, konstruksi & real estat 12,8%, serta jasa keuangan & asuransi 11,3%. Hanya penerimaan pajak dari sektor transportasi & pergudangan yang mampu tumbuh 9,3%.

Di sisi lain, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini mengungkapkan bahwa insentif fiskal Covid-19 dalam rangka pemulihan ekonomi nasional serta percepatan restitusi yang mulai dimanfaatkan turut mempengaruhi rendahnya penerimaan pajak semester I.

Hingga 30 Juni 2020, sudah ada 362.015 wajib pajak penerima insentif dan 3.816 WP penerima restitusi dipercepat. Nilainya, Rp 7,2 triliun dan Rp 3,6 triliun.

Pandemi corona membuat pemerintah merevisi APBN hingga dua kali tahun ini. Dalam revisi terakhir melalui Perpres Nomor 72 Tahun 2020, penerimaan perpajakan tahun ini ditargetkan Rp 1.404,51 triliun, turun dibandingkan target sebelumnya dalam Pepres Nomor 54 Tahun 2020 sebesar Rp 1.462,63 trilun.

Reporter: Agatha Olivia Victoria