Bank Indonesia (BI) mencatat utang luar negeri (ULN) Indonesia per 31 Mei 2020 naik 4,8% menjadi US$ 404,74 miliar atau Rp 5.987 triliun (asumsi kurs Rp 14.795 per dolar AS). Jumlah ULN didominasi oleh sektor swasta, dengan nilai US$ 209,88 miliar atau setara dengan Rp 3.105 triliun.
"Selain penarikan utang oleh pemerintah dan swasta, penguatan nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS juga berkontribusi pada peningkatan ULN," tulis Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko, dalam keterangan resminya, Jumat (17/7).
Menurutnya, posisi ULN Indonesia per 31 Mei 2020 memang lebih tinggi dibandingkan kenaikan pada per 30 April 2020, yang naik 2,9%. Namun, secara umum tetap terkendali, dengan struktur yang sehat.
Sektor swasta, termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tercatat mendominasi struktur ULN Indonesia, dengan jumlah mencapai US$ 209,88 miliar. Diikuti oleh ULN pemerintah, sebesar US$ 194,86 miliar.
Dilihat dari kategorinya, ULN perusahaan bukan jasa keuangan tercatat paling tinggi, mencapai US$ 163,08 miliar. Sementara, ULN lembaga keuangan, yang terdiri dari perbankan dan jasa keuangan non-bank tercatat sebesar US$ 46,79 miliar.
Sementara, dilihat dari sektornya, tercatat ada empat sektor dengan porsi ULN terbesar, yakni sektor jasa keuangan & asuransi, sektor pertambangan & penggalian, sektor pengadaan listrik, gas, uap/air panas & udara dingin (LGA), dan sektor industri pengolahan. Porsi keseluruhan sektor-sektor ini mencapai mencapai 77,3% dari total ULN swasta.
Adapun, peningkatan ULN pemerintah utamanya disebabkan oleh arus modal masuk pada Surat Berharga Negara (SBN). Hal ini, seiring dengan meredanya ketidakpastian pasar keuangan global, dan tingginya daya tarik aset keuangan domestik, serta terjaganya kepercayaan investor asing terhadap prospek ekonomi Indonesia.
(Baca: Sri Mulyani Sebut Utang Pemerintah Melonjak Rp 422,7 T dalam Setahun)
"Sentimen positif tersebut membawa pengaruh pada turunnya tingkat imbal hasil SBN sehingga biaya utang pemerintah dapat ditekan," ujar Onny.
Ia mengatakan, pengelolaan ULN pemerintah dilakukan secara hati-hati dan akuntabel, untuk mendukung belanja prioritas yang saat ini dititikberatkan pada upaya penanganan pandemi virus corona atau Covid-19, dan pemulihan ekonomi nasional.
Sektor prioritas tersebut mencakup jasa kesehatan dan kegiatan sosial, atau 23,4% dari total ULN pemerintah, dan sektor konstruksi dengan porsi 16,4%. Kemudian, sektor jasa pendidikan sebesar 16,3%, sektor jasa keuangan dan asuransi 12,6%, serta sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib 11,6%.
Onny menyebut, secara keseluruhan struktur ULN Indonesia tetap sehat, didukung penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya. Rasio ULN Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) per Mei 2020 tercatat sebesar 36,6%, sedikit meningkat dibandingkan rasio pada bulan sebelumnya sebesar 36,2%.
Meskipun meningkat, strukturnya tetap didominasi oleh utang jangka panjang dengan porsi 89,0% dari total ULN. Dalam rangka menjaga agar struktur ULN tetap sehat, BI dan pemerintah terus meningkatkan koordinasi dalam memantau perkembangan ULN, didukung dengan penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya.
"Peran ULN juga terus dioptimalkan dalam menyokong pembiayaan pembangunan, dengan meminimalisasi risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian," ujarnya.
(Baca: BPK Soroti Rasio Utang Pemerintah 2019 yang Naik Jadi 30,2% dari PDB)