Rupiah Menguat Tipis di Tengah Melemahnya Mayoritas Mata Uang Asia

ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/foc.
Ilustrasi. Rupiah menguat tipis di tengah mayoritas mata uang Asia yang melemah.
4/8/2020, 17.09 WIB

Nilai tukar rupiah menguat 0,03% ke level Rp 14.625 per dolar AS pada pasar spot sore ini, Selasa (4/8). Penguatan rupiah seiring pelemahan dolar AS terhadap mata uang negara-negara utama lainnya. 

Kendari demikian,  mayoritas mata uang Asia bergerak melemah terhadap dolar AS. Mengutip Bloomberg, dolar Taiwan melemah 0,06%, won Korea Selatan 0,05%, peso Filipina 0,02%, rupee India 0,05%, dan yuan Tiongkok 0,01%.

Sementara itu, yen Jepang  menguat 0,07%, dolar Hong Kong 0,01%, dolar Singapura 0,13%, ringgit Malaysia 0,03%, dan baht Thailand 0,44%.

Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate yang dipublikasikan Bank Indonesia pada pukul 10.00 WIB menempatkan rupiah pada posisi Rp 14.697 per dolar AS, naik 16 poin.

Analis Valbury Asia Futures Lukman Leong menjelaskan penguatan tipis mata uang Garuda lebih disebabkan oleh pelemahan dolar AS. "Ini yang menahan rupiah dari pelemahan dan justru hari ini menguat tipis," kata Lukman kepada Katadata.co.id, Selasa (4/8).

Saat berita ini ditulis, indeks dolar AS melemah 0,24% ke level 93,32. Dengan begitu dolar AS anjlok jika dibandingkan dengan euro, dolar Australia, dolar Kanada, dan franc Swiss sore ini.

Mata uang Negeri Paman Sam terus melemah sejak rilis pertumbuhan ekonomi AS kuartal kedua yang minus 32,9%. Angka ini menjadi yang terburuk dalam sejarah AS sejak kuartal II 1921 sebesar minus 28,6%. "Serta meningkatnya sengketa dengan Tiongkok," ujarnya.

Anjloknya pertumbuhan ekonomi AS dipengaruhi oleh terpukulnya konsumsi rumah tangga yang merosot 25%. Padahal sumbangannya terhadap produk domestik bruto  AS mencapai 67%. Konsumsi jasa menjadi yang paling terpuruk. Sementara konsumsi lain yang turun adalah kesehatan dan barang-barang seperti pakaian dan alas kaki. Tingkat konsumsi AS di kuartal II lebih rendah dibandingkan kuartal I yang sebesar 7,6%.

Penyebabnya adalah kebijakan karantina wilayah atau lockdown oleh pemerintah AS sejak Maret lalu. Pada kuartal I konsumsi barang tahan lama anjlok 16,1% dan konsumsi jasa anjlok 10,2%.

Tertekannya konsumsi masyarakat AS juga terlihat dari pertumbuhan pengeluaran pribadi yang anjlok US$ 1,57 triliun. Penyebabnya adalah karena penurunan drastis pengeluaran untuk sektor jasa. Penyebab lainnya adalah karena jumlah pengangguran yang tinggi.

Data Biro Statistik Tenaga Kerja AS menyatakan tingkat pengangguran Juni sebesar 11,1% atau terbesar sejak 1940. Departemen Ketenagakerjaan AS juga mencatat 1,5 juta orang telah mendaftar untuk mendapatkan stimulus pengangguran per Juni. Lebih tinggi dibandingkan rekor sebelumnya sebanyak 700 ribu orang pada 1982.

Kondisi tersebut diperparah dengan anjloknya indeks harga konsumen sebesar 1,5% dibandingkan kuartal I 2020 yang meningkat 1,4%. Indeks ini merupakan indikator penting dari inflasi. Indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi, tidak termasuk makanan dan energi turun 1,9% setelah naik 1,3% di kuartal I.

Reporter: Agatha Olivia Victoria