Pertumbuhan ekonomi pada kuartal II terkontraksi cukup dalam sebesar 5,32% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, lebih buruk dari prediksi pemerintah negatif 4,3%.Kontraksi ekonomi diperkirakan akan berlanjut pada kuartal ketiga sehingga Indonesia berpotensi mengalami resesi.
Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri memperkirakan kontraksi ekonomi akan berlanjut pada kuartal ketiga mendatang, meski tak sedalam kontraksi pada April-Juni 2020. Apalagi, pandemi Covid-19 di Indonesia belum kunjung mencapai puncak kurva.
"Besar kemungkinan kontraksi ekonomi bakal berlanjut pada kuartal mendatang walaupun tak sedalam kuartal kedua. Jika demikian, berarti dua kuartal berturut-turut mengalami kontraksi, sehingga Indonesia bakal memasuk resesi," tulis Faisal dalam situs pribadinya, Rabu (5/88).
Faisal menilai pemerintah tak perlu memaksakan diri agar Indonesia terhindar dari resesi ekonomi. Jika dipaksakan, resesi berpotensi lebih panjang sehingga menelan ongkos ekonomi dan sosial kian besar.
Adapun pada kuartal kedua tahun ini, dua sektor yang terimbas paling berat akibat pandemi Covid-19 yaitu Transportasi, serta akomodasi dan makan minum, masing-masing mengalami kontraksi sebesar 30,8 persen dan 22 persen pada kuartal II 2020 dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Namun, karena sumbangan kedua sektor ini pada perekonomian relatif kecil, maka pengaruhnya terhadap perekonomian tak dominan.
Industri manufaktur yang merupakan penyumbang terbesar PDB dengan kontribusi mencapai 19,8% juga mengalami kontraksi cukup dalam, yaitu 6,2 persen. Dari 15 kelompok industri, hanya empat yang masih tumbuh, sedangkan 11 sisanya mengalami kontraksi. Industri alat angkutan menderita kontraksi terparah sebesar 34,3 persen. "Gelagatnya sudah terlihat dari data penjualan sepeda motor dan otomotif," katanya.
Konsumsi rumah tangga yang merupakan komponen terbesar berdasarkan pengeluaran dalam PDB dengan kontribusi 58 persen juga akhirnya merosot atau mengalami kontraksi sebesar 5,51 persen. "Kejadian ini hampir hampir sama parahnya dengan krisis 1998 ketika pertumbuhan konsumsi rumah tangga minus 6,17 persen," katanya.
Sebelum krisis ekonomi 1998, menurut Faisal, konsumsi rumah tangga hanya dua kali mengalami kontraksi sejak 1960, yakni pada 1963 sebesar 3,95 persen dan 1966 sebesar 1,46 persen.
Adapun kemerosotan PDB pada kuartal II 2020 dinilai antara lain tertolong oleh impor yang merosot lebih tajam ketimbang ekspor atau menghasil net ekspor. Impor terkontraksi 16,96%, sedangkan ekspor -11,6%. Suntikan APBN berupa bantuan sosial bagi penduduk miskin dan rentan serta terdampak pandemik Covid-19 juga sangat membantu untuk menahan kemerosotan lebih dalam.
Kemerosotan PDB tertolong oleh ekspor neto barang dan jasa ekspor barang dan jasa dikurangi impor barang dan jasa. Ini terjadi karena impor merosot lebih tajam ketimbang penurunan ekspor, masing-masing 16,96 persen dan 11,66 persen.
Ketimbang memaksakan diri agar terhindar dari resesi, menurut Faisal, lebih realistis jika pemerintah berupaya maksimum mengendalikan Covid-19. Dengan demikian, diharapkan perekonomian bisa tumbuh positif kembali pada kuartal terakhir tahun ini. "Sehingga tahun 2021 bisa melaju lebih kencang," katanya.
Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede juga menilai probabilitas risiko resesi semakin besar pada kuartal III mempertimbangkan kinerja perekonomian kuartal II yang terkontraksi. 5,32%. Progres penyerapan belanja/stimulus penanganan Covid-19 dan program pemulihan ekonomi nasional juga masih rendah dan tren kasus Covid-19 belum menurun.
"Pertumbuhan ekonomi kuartal III diperkirakan masih negatif, namun sedikit membaik dibandingkan kuartal II yang lalu," ujarnya kepada Katadata.co.id.
Adapun untuk menjauhkan Indonesia dari jurang resesi, menurut dia, perlu percepatan stimulus belanja pemerintah dengan tetap mendorong peningkatan produktivitas yang memiliki multiplier effect terhadap permintaan dan konsumsi masyarakat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya mengatakan pemerintah akan berupaya agar perekonomian pada kuartal III tumbuh 0% atau positif sehingga Indonesia terhindar dari resesi teknis. Pemerintah memproyeksi ekonomi sepanjang tahun ini tumbuh pada kisaran minus 0,4% hingga 1%.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya juga menyebut Indonesia secara teknis belum memasuki resesi ekonomi meski ekonomi pada kuartal II negarif secara tahunan.
"Secara teknis kalau dua kuartal berturut-turut pertumbuhan ekonomi negatif, itu berarti suatu negara atau ekonomi mengalami resesi. Kita kuartal I masih tumbuh, kuartal II mungkin negatif, tetapi Kuartal III harapkan mendekati 0% sehingga secara teknis tidak resesi," ujar Sri Mulyani dalam konferensi video di Jakarta, Selasa (16/6).