Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat jumlah utang pemerintah per akhir Juli 2020 berada di angka Rp 5.434,86 triliun. Nilai tersebut meningkat Rp 831,24 triliun dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 4.603,62 triliun seiring peningkatan kebutuhan pembiayaan untuk menangani dampak Covid-19.
"Posisi utang pemerintah mengalami peningkatan disebabkan oleh peningkatan kebutuhan pembiayaan untuk menangani masalah kesehatan dan pemulihan ekonomi nasional akibat Covid-19," tulis Kemenkeu dalam buku APBN KiTa edisi Agustus 2020, dikutip Kamis (27/8).
Dengan jumlah utang tersebut, rasio utang pemerintah terhadap PDB sebesar 33,63%, naik dari 29,51% pada periode yang sama 2019. Adapun utang pemerintah masih didominasi surat berharga negara (SBN) yaitu 84,57% atau sebesar Rp 4.596,26 triliun. Sementara sisanya 15,43% berupa pinjaman atau Rp 838,60 triliun.
Secara perinci, SBN yang sebesar Rp 4.596,26 triliun terdiri dari SBN domestik Rp 3.351,13 triliun dan valas Rp 1.245,13 triliun. SBN domestik berupa surat utang negara (SUN) Rp 2.718,09 triliun dan surat berharga syariah negara (SBSN) Rp 633,04 triliun. SBN valas dalam bentuk SUN tercatat Rp 985,77 triliun dan SBSN Rp 259,36 triliun.
Sedangkan utang berbentuk pinjaman sebesar Rp 838,6 triliun terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp 10,53 triliun dan pinjaman luar negeri Rp 828,07 triliun. Pinjaman luar negeri berupa pinjaman bilateral Rp 318,24 triliun, multilateral Rp 465,03 triliun, dan bank komersial Rp 44,8 triliun.
Meskipun terdapat peningkatan defisit dan rasio utang terhadap PDB, hal ini tak menyurutkan kabar baik dari sisi peringkat kredit Indonesia. Pada 10 Agustus 2020, lembaga pemeringkat Ficth Ratings mempertahankan peringkat kredit Indonesia di level BBB dengan outlook stabil.
Fitch mencatat bahwa rasio utang Indonesia yang meningkat masih lebih kecil dibandingkan median rasio utang terhadap PDB negara-negara dengan peringkat utang BBB lainnya yang mencapai 51,7%. Fitch juga menyatakan bahwa kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 sudah berada pada jalur yang tepat.
Hal ini menjadi bukti bahwa dunia memandang Indonesia mampu menjaga stabilitas makroekonomi dan prospek ekonomi jangka menengah di tengah pandemi Covid-19, serta tekanan dan ketidakpastian secara global.
Adapun kebutuhan pembiayaan utang pada semester II mencapai Rp 989,86 triliun, yang akan dipenuhi melalui penerbitan SBN sebesar Rp 899,98 triliun dan pengadaan pinjaman sebesar Rp 89,38 triliun.
Pemerintah selalu menerapkan strategi oportunistik dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan, yaitu dengan memanfaatkan momen yang tepat untuk memperoleh biaya dan risiko yang minimal.
Selain itu, pemerintah akan mengoptimalisasi pinjaman program dengan biaya yang relatif lebih murah serta optimalisasi penerbitan SBN Ritel untuk meningkatkan perilaku investasi pada masyarakat.
Selanjutnya, penerbitan SBN domestik tetap mengutamakan penerbitan melalui lelang dengan dukungan Bank Indonesia sebagai standby buyer. Sedangkan penerbitan SBN valas dilakukan saat kondisi pasar keuangan domestik kurang menguntungkan.
Pemerintah berkomitmen untuk melakukan pengelolaan utang dengan prudent dan akuntabel demi mendukung APBN yang kredibel, utamanya di tengah kejadian luar biasa Covid-19 yang memerlukan upaya yang luar biasa pula.
Pemerintah juga selalu mengutamakan fleksibiltas dan efisiensi dalam pembiayaan agar dapat menjaga komposisi portofolio utang secara optimal untuk memastikan keseimbangan makro yang sustainable.