Faisal Basri Soroti Penerimaan Negara Jebol Sebab Pajak Tambang Kendor
Penerimaan negara terus menjadi sorotan lantaran target penerimaan pajak yang tak pernah tercapai beberapa tahun terakhir. Ekonom Senior Faisal Basri menilai seretnya penerimaan negara salah satunya karena kendornya kebijakan perpajakan dari sektor pertambangan.
"Banyak terjadi perampokan di sektor pertambangan ini," kata Faisal dalam sebuah diskusi virtual, Kamis (3/9).
Bentuk dari kurang ketatnya kebijakan perpajakan di sektor pertambangan yakni tidak dikenakannya bea ekspor dan royalti kepada pengusaha smelter. Sementara, perusahaan tambang lokal wajib membayar keduanya.
Dengan kendornya kebijakan tersebut, Faisal menuturkan bahwa banyak pengusaha smelter asing pindah ke Indonesia. Kebanyakan pengusaha tersebut datang dari Tiongkok.
"Nikmat sekali bagi mereka. Tiga tahun di Indonesia sudah break event point dan keuntungannya sudah puluhan triliun," ujarnya.
Faisal menjelaskan, keuntungan tersebut salah satunya didapat dari harga nikel yang sangat murah untuk para smelter. Di Indonesia harga nikel hanya US$ 20 kepada pengusaha smelter. Sedangkan harga nikel di pasar internasional US$ 40.
Belum lagi, para pengusaha smelter banyak diberikan fasilitas seperti tax holiday hingga pembebasan PPh badan, PPN, dan bea masuk untuk barang modal. Selain itu, pekerja smelter Tiongkok yang ada di Indonesia didatangkan menggunakan visa turis bukan visa pekerja.
Jika pekerja asing tersebut memakai visa turis, pegawai tersebut tak membayar PPh pegawai perseorangan dan tidak membayar iuran pekerja asing. Dengan demikian, produksi pertambangan pengusaha smelter terus naik namun penerimaan negara tetap seret. "Jadi jebol keuangan negara gara gara nikel ini," kata dia.
Kementerian Keuangan mencatat pajak untuk periode Januari – Juli baru terkumpul sebesar Rp 601,91 triliun. Capaian itu setara dengan 50,21% dari target 2020 yang ditetapkan sebesar Rp 1.198,82 triliun. Realisasi tersebut lebih rendah 14,67% jika dibanding periode yang sama tahun lalu.
Penerimaan pajak dari sektor pertambangan tercatat hanya Rp 23,24 triliun, atau turun 36,6%. Sektor ini telah mengalami tekanan sejak tahun 2019 yang diakibatkan penurunan harga komoditas tambang, ditambah dengan restitusi yang masih tinggi.