Penerimaan Negara Anjlok 13% pada Agustus, Sinyal Ekonomi Masih Lambat

ANTARA FOTO/Kornelis Kaha/foc.
Ilustrasi. Penerimaan negara hingga akhir tahun ini diproyeksi mencapai Rp1.699,95 triliun, turun dibandingkan 2019 yang mencapai Rp 1.960,63 triliun.
7/9/2020, 19.47 WIB

Kementerian Keuangan mencatat realisasi penerimaan negara hingga Agustus 2020 mencapai Rp 1.028,02 triliun, turun 13,4% dibandingkan periode yang sama tahun lalu akibat pandemi Covid-19. Kontraksi penerimaan negara lebih dalam pada bulan lalu dibandingkan Juli yang turun 12,4% dibandingkan Juli 2019. 

Berdasarkan bahan paparan Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara pada rapat kerja bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, realisasi tersebut terdiri dari penerimaan perpajakan Rp 795,95 triliun dan penerimaan negara bukan pajak Rp 232,07 triliun. Penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak masing-masing turun dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Meski turun dibandingkan periode yang sama tahun lalu, penerimaan negara pada Agustus naik 11,49% dibandingkan bulan sebelumnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan pihaknya akan terus memperbaiki program pengelolaan anggaran agar dapat menopang penerimaan negara. "Jadi kami minta penerimaan Bea Cukai, PNBP, dan pajak dapat berkolaborasi," kata Sri Mulyani dalam kesempatan tersebut.

Dengan demikian, ia berharap penerimaan negara ke depan akan lebih optimal.

Dalam RAPBN 2021, penerimaan negara hingga akhir tahun ini diproyeksi mencapai Rp1.699,95 triliun, turun dibandingkan 2019 yang mencapai Rp 1.960,63 triliun. Penerimaan perpajakan ditargetkan sebesar Rp 1.404,51 triliun, sedangkan PNBP ditargetkan sebesar Rp 294,24 triliun.

Pada tahun depan, pemerintah menargetkan penerimaan negara kembali meningkat menjadi Rp 1.776,36 triliun. Penerimaan perpajakan ditarrgetkan sebesar 1.481,94 triliun dan PNBP sebesar Rp 291,51 triliun.

Adapun khusus penerimaan pajak pada tahun depan ditargetkan mencapaiRp 1.268,51 triliun atau tumbuh 5,8% dari proyeksi tahun anggaran 2020. Pertumbuhan penerimaan pajak tersebut dengan perkiraan pulihnya aktivitas perekonomian dan upaya reformasi perpajakan yang akan ditempuh.

Mengutip buku nota keuangan 2021, penerimaan pajak akan terdiri dari pajak penghasilan atau PPh Rp 699,9 triliun, pajak pertambahan nilai atau PPN Rp 546,1 triliun, pajak bumi dan bangunan atau PBB Rp 14,8 triliun, serta pajak lainnya Rp 7,7 triliun.

Penerimaan PPh terdiri atas PPh migas dan PPh nonmigas dengan PPh migas diperkirakan sebesar Rp 41,1 triliun. Target PPh migas meningkat 29,2% dari target 2020. Diperkirakan akan membaiknya harga minyak dunia seiring membaiknya harga komoditas utama di dunia.

Untuk penerimaan PPh nonmigas ditargetkan sebesar Rp 658,7 triliun, atau diproyeksikan tumbuh sebesar 3,2% dibandingkan outlook tahun 2020. Hal ini sejalan dengan semakin membaiknya kondisi perekonomian pascapandemi Covid-19.

Selain itu, diperkirakan perbaikan harga komoditas utama dunia juga mendorong perbaikan kinerja pada perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan mineral dan batubara. Apabila dilihat dari komposisinya, PPh nonmigas dalam RAPBN tahun 2021 sebagian besar berasal dari PPh Pasal 25/29 Badan, PPh Pasal 21, dan PPh Final.

Anggota Komisi XI DPR Misbakhun mengungkapkan penerimaan pajak tahun ini tak perlu dikhawatirkan. Pemerintah harus fokus pada upaya meningkatkan rasio pajak ke depan.

"Jadi seberapa kuat penerimaan pajak mendukung kenaikan itu," ujar Misbakhun dalam kesempatan yang sama.

Tax ratio Indonesia tercatat turun dari 9,8% menjadi 8,2% pada semester I 2020. Tren penurunan sebenarnya sudah terjadi sebelumnya.

Direktur Riset Center Of Reform on Economics Piter Abdullah Redjalam menilai capaian penerimaan negara pada Agustus menunjukkan kinerja perekonomian yang masih lambat. "Biasanya menghasilkan output alias produk domestik bruto 100 unit tahun ini hanya 98 unit," kata Piter kepada Katadata.co.id, Senin (7/9).

Meski menurun, output 98 unit tersebut tetap memberikan penerimaan pajak untuk pemerintah Hanya saja, masih jauh di bawah target.

Pemerintah sebelumnya memproyeksi ekonomi pada kuartal III akan kembali mengalami kontraksi. Dengan demikian ekonomi Indonesia berpotensi masuk dalam jurang resesi. 

Reporter: Agatha Olivia Victoria