Resesi Ekonomi Hampir Pasti, Sri Mulyani Lihat Hilal Pemulihan Ekonomi

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wsj.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh pada level 0% hingga minus 2% pada kuartal III 2020.
8/9/2020, 11.25 WIB

Ekonomi Indonesia pada kuarta; ketiga tahun ini sudah hampir pasti masuk ke jurang resesi lantaran pemerintah memproyeksi bakal kembali terjadi kontraksi. Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai resesi yang terjadi tak berarti kondisi ekonomi sangat buruk. 

"Karena kami lihat kalau kontraksinya lebih kecil," kata Sri Mulyani seusai rapat bersama Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat, Senin (7/9).

Dia pun memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh pada level 0% hingga minus 2% pada kuartal III 2020. Angka tersebut masih lebih rendah dari perekonomian RI kuartal II yang terkontraksi hingga 5,32%.

Sri Mulyani menjelaskan perkiraan yang lebih baik tersebut terjadi karena mulai terlihat pemulihan ekonomi terutama pada konsumsi dan investasi. Faktor pendorongnya yakni akselerasi belanja pemerintah yang semakin dipercepat.

Dengan perkembangan tersebut, diharapkan kinerja ekspor Tanah Air juga mulai membaik. "Karena satu bulan terakhir terjadi kenaikan cukup baik," ujar dia.

Kendati demikian, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini mengingatkan bahwa kontraksi ekonomi yang terjadi di Indonesia tak sedalam negara lain. Pasalnya, negara-negara seperti Singapura, Amerika Serikat, dan sebagainya mengalami kontraksi ekonomi hingga dua digit.

Maka dari itu, Sri Mulyani menekankan pemerintah akan terus fokus menangani penyebaran Covid-19. Ia mengingatkan agar seluruh aktivitas masyarakat  tak terlepas dari protokol kesehatan. Hal itu karena masih meningkatnya kurva infeksi virus corona dalam negeri.

Pengamat Ekonomi Institut Kajian Strategis Universitas Kebangsaan RI Eric Sugandi mengatakan resesi sebenarnya periode yang normal dalam siklus bisnis, terutama pada kondisi wabah. Dalam perekonomian, terdapat periode ekspansi dan kontraksi, termasuk resesi.

Namun, pademi Covid-19 menyebabkan resesi yang tidak normal. "Karena kontraksi terjadi secara mendadak," kata Eric kepada Katadata.co.id, Selasa (8/9).

Resesi ekonomi pun otomatis meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan. Ia memproyeksi tingkat pengangguran terbuka tahun ini akan melonjak dari tahun lalu sebesar 5,3% menjadi 9%. Sementara tingkat kemiskinan naik dari 9,2% menjadi 12%. Indeks gini atau kesenjangan juga diproyeksi meningkat dari 0,380 menjadi 0,382.  

Ia pun menyarankan agar pemerintah bisa terus memulihkan sisi permintaan agar segera keluar dari resesi. khususnya pemulihan konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat. Pemulihan ekonomi perlu didorong melalui peningkatan program bantuan langsung tunai dan bantuan sosial.

Eric pun menilai pemerintah sebaiknya tidak menaikkan harga barang yang termasuk administered prices agar daya beli masyarakat tidak makin tergerus. Barang yang dimaksud antara lain seperti tiket transportasi dan bahan bakar minyak.

Pada program pemulihan ekonomi nasional,  pemerintah sebenarnya pemerintah sudah menganggarkan dana untuk memulihkan daya beli masyarakat. "Tinggal bagaimana mempercepat penyalurannya," ujarnya.

Pemerintah mengalokasikan dana Rp 695,2 triliun pada program pemulihan ekonomi nasional. Total biaya penanganan Covid-19 tersebut terdiri dari biaya kesehatan Rp 87,55 triliun, perlindungan sosial Rp 203,9 triliun, insentif usaha Rp 120,61 triliun, bantuan UMKM Rp 123,46 triliun, pembiaayan korporasi Rp 53,57 triliun, dan sektoral kementerian/lembaga & pemda Rp 106,11 triliun.

Reporter: Agatha Olivia Victoria