Kementerian Keuangan mencatat utang pemerintah hingga Agustus 2020 mencapai Rp 5.594,93 triliun, melonjak 19,5% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kenaikan utang seiring kebutuhan pembiayaan yang meningkat untuk menambal defisit anggaran yang membengkak.
"Kenaikan utang disebabkan oleh peningkatan kebutuhan pembiayaan untuk menangani masalah kesehatan dan pemulihan ekonomi nasional akibat Covid-19," tulis APBN KiTa edisi September 2020 yang dikutip Katadata.co.id, Rabu (23/9).
Kebutuhan pembiayaan tersebut selama bulan Agustus 2020 dipenuhi dari pinjaman sebesar Rp 16,23 triliun dan Surat Berharga Negara bruto sebesar Rp 168,58 triliun. Lebih perinci, penarikan pinjaman selama bulan Agustus meliputi penarikan pinjaman tunai sebesar Rp 15,74 triliun yang bersumber dari AIIB dan IBRD, serta penarikan pinjaman kegiatan sebesar Rp 420 miliar dan penarikan pinjaman dalam negeri sebesar Rp 60 miliar.
Sementara penerbitan SBN meliputi penerbitan SUN domestik sebesar Rp 139,78 dan SPN sebesar Rp 3,3 triliun serta penerbitan Sukuk Proyek sebesar Rp 23,55 triliun dan SPN-S sebesar Rp 1,95 triliun. Selain itu, pemerintah baru saja menawarkan Sukuk Ritel seri SR013 kepada masyarkat yang berlangsung selama 28 Agustus sampai dengan 23 September.
Adapun total utang pemerintah masih didominasi oleh penerbitan SBN dengan porsi mencapai 84,82% atau Rp 4.745,48 triliun yang terdiri dari SBN domestik Rp 3.510,24 triliun dan SBN valas Rp 1.235,24 triliun.
SBN domestik terdiri dari penerbitan SUN Rp 2.854,22 triliun dan SBSN Rp 656,02 triliun, sedangkan SBN valas terdiri atas SUN Rp 977,63 triliun dan SBSN Rp 257,61 triliun.
Utang pemerintah juga terdiri dari pinjaman Rp 849,45 triliun dengan porsi 15,18%. Utang dalam bentuk pinjaman berupa pinjaman dalam negeri Rp 10,87 triliun dan pinjaman luar negeri Rp 838,59 triliun yang terdiri dari bilateral Rp 316,26 triliun, multilateral Rp 477,52 triliun, dan bank komersial Rp 44,81 triliun.
Direktur Riset Center Of Reform on Economics Piter Abdullah Redjalam mengatakan peningkatan utang pemerintah sejalan dengan semakin banyaknya bantuan yang diberikan di tengah pandemi. Masyarakat harus dapat menerima kenyataan tersebut jika ingin terus dibantu.
Dia pun mengingatkan agar masyarakat tak perlu khawatir dengan peningkatan utang. Ini lantaran rasio utang Indonesia terhadap PDB belum melewati ambang batas yang diperbolehkan yakni 60%. Rasio utang pemerintah juga belum sebesar negara lain.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Luky Alfirman menyebut beban utang bertambah karena adanya kemungkinan defisit APBN 2020 yang melebar dari target Perpres 72 tahun 2020 yakni 6,34%. "Kami akan monitor lagi angka defisitnya hingga akhir tahun," ujar Luky dalam konferensi virtual, Selasa (22/9).
Selain itu, pelebaran defisit dinilai ia juga menyebabkan APBN dibebani biaya pembayaran bunga utang. Tetapi, untuk tahun ini pemerintah akan bersama dengan Bank Indonesia menanggung beban hingga biaya bunga utang.
Realisasi pembayaran bunga utang sampai dengan Agustus 2020 tercatat sebesar Rp 196,5 triliun, naik 14% jika dibandingkan Agustus 2019. Hal tersebut sejalan dengan tambahan penerbitan utang yang dilakukan untuk menutup peningkatan defisit APBN 2020 dan peningkatan pengeluaran pembiayaan.
Hingga bulan lalu, defisit APBN telah mencapai Rp 500,5 triliun, setara dengan 3,05% dari produk domestik bruto. Defisit terjadi karena belanja pemerintah melonjak sementara penerimaan perpajakan masih tertekan.