APBN 2021 Berpotensi Diubah karena Ancaman Resesi dan Omnibus Law

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/hp.
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) menyerahkan tanggapan pemerintah atas pengesahan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2021 kepada Ketua DPR Puan Maharani (kiri) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (29/9/2020).
8/10/2020, 19.24 WIB

Meski belum lama disahkan, pemerintah berpotensi mengubah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2021 seiring ketidakpastian ekonomi yang masih tinggi akibat pandemi Covid-19 sehingga memicu resesi. Selain itu, UU Cipta Kerja memandatkan alokasi anggaran untuk modal Lembaga Pengelola Investasi atau Sovereign Wealth Fund serta program jaminan kehilangan pekerjaan yang belum difasilitasi APBN 2021. 

"Tanpa APBNP rasanya sulit karena kita tidak tahu sebulan atau dua bulan tahun depan akan terjadi apa dengan situasi yang penuh ketidakpastian ini," ujar Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo dalam Webinar "Janji Palsu APBN 2021", Kamis (8/10).

Prastowo menjelaskan, perekonomian berangsur pulih terutama pada kuartal keempat ini. Namun ketidakpastian ekonomi masih membayangi target-target pemerintah dalam APBN. Di sisi lain, pemerintah juga perlu memastikan ketersediaan anggaran untuk dua progrma yakni pendirian LKP dan jaminan kehilangan pekerjaan. 

Ia menyatakan pemerintah akan memastikan alokasi anggaran untuk kedua program tersebut.  "Realistisnya memang masuk di APBN 2021," ujar dia.

Anggota Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Ratna Juwita Sari menilai APBN 2021 telalu optimistis di tengah pandemi yang belum terkendali. Ini terliht dari penerimaan perpajakan pada tahun 2021 yang dipatok Rp 1.444,5 triliun, naik 2,85% dari Perpres Nomor 72 tahun 2020 Rp 1.404,5 triliun.

"Apalagi postur APBN 2021 saat dibuat belum terdampak Omnimbus Law Cipta Kerja," kata Ratna dalam kesempatan yang sama.

Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparan Anggaran Misbah Hasan mengatakan pada tahun 2020 dan 2021, pemerintah mematok target rasio penerimaan perpajakan terhadap pendapatan negara sebesar 82,6% dan 82,8%, lebih tinggi dari rata-rata realisasi penerimaan perpajakan di masa sebelum pandemi Covid-19 yaitu 80%.

Padahal faktanya, target penerimaan perpajakan sejak 2017 belum pernah tercapai. "Jadi ini janji palsu," ujar Misbah.

Dia melanjutkan, menurut data per 31 Agutus 2020, proporsi penerimaan perpajakan baru mencapai 46,9% dari pendapatan negara atau tercatat Rp 795,95 triliun. Artinya, rata-rata penerimaan perpajakan sejak awal Januari hingga Agustus 2020 adalah 6,7% per bulan. Berdasarkan data rata-rata tersebut, maka realisasi penerimaan perpajakan sampai akhir 2002 diperkirakan Misbah hanya sebesar 73,7% sampai 77,1% dari pendapatan negara.

Pendapatan negara pada APBN 2021 ditargetkan mencapai Rp 1.743,6 triliun yang terdiri atas penerimaan perpajakan Rp 1.444,5 triliun, PNBP Rp 298,2 triliun, dan penerimaan hibah Rp 900 miliar. Penerimaan perpajakan terdiri dari penerimaan pajak yang diproyeksikan Rp 1.229,6 triliun dengan fokus memberikan dukungan insentif secara selektif dan terukur untuk percepatan pemulihan ekonomi serta reformasi pajak.

Adapun kepabeanan dan cukai ditargetkan sebesar Rp 215 triliun yang disertai dengan dukungan percepatan pemulihan dan transformasi ekonomi serta penguatan pengawasan yang terintergrasi.

Reporter: Agatha Olivia Victoria