Neraca transaksi berjalan yang defisit menjadi masalah bagi perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Namun, Bank Indonesia memproyeksi, neraca transaksi berjalan akan mencatatkan surplus pada kuartal ketiga tahun ini. Ini pencapaian surplus pertama sejak tahun 2011.
"Transaksi berjalan kuartal III 2020 diperkirakan mencatat surplus dipengaruhi perbaikan ekspor dan penyesuaian impor sejalan permintaan domestik yang belum kuat," ujar Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (13/10).
Perry menjelaskan, prakiraan ini didorong potensi kenaikan surplus neraca perdagangan pada kuartal III 2020 yang lebih besar dibandingkan dengan surplus pada kuartal sebelumnya. Pada Juli-Agustus 2020, neraca perdagangan mencatat surplus US$ 5,57 miliar. Sedangkan pada sepanjang kuartal II 2020, neraca perdagangan mencatat surplus sekitar US$ 3 miliar.
BI juga memproyeksi neraca finansial akan mengalami surplus meski terdapat aliran keluar pada investasi portofolio asing mencapai US$ 1,24 miliar.
"Dengan prospek surplus neraca transaksi berjalan tersebut dan surplus neraca finansial, secara keseluruhan neraca pembayaran pada kuartal III 2020 diprakirakan mengalami surplus," kata Perry.
Neraca transaksi berjalan atau current account mencakup perdagangan barang dan jasa, penghasilan, serta transfer berjalan. Sementara neraca pembayaran mencakup neraca transaksi berjalan serta neraca modal dan finansial.
Perry menjelaskan, aliran masuk modal asing berangsur membaik pada bulan ini. Pada 1-9 Oktober 2020 tercatat aliran modal asing masuk sebesar US$ 0,33 miliar. "Posisi cadangan devisa Indonesia akhir September 2020 tetap tinggi, yakni US$ 135,2 miliar," katanya.
BI memperkirakan defisit transaksi berjalan sepanjang tahun ini akan tetap rendah yakni di bawah 1,5% terhadap PDB. Dengan demikian, ketahanan sektor eksternal Indonesia dapat tetap terjaga di tengah dinamika penyesuaian aliran modal global.
Masalah Klasik yang 'Diselesaikan' Pandemi
Indonesia mengalami defisit pada neraca transaksi berjalan sejak 2012. Puncaknya, neraca transaksi berjalan mencatatkan defisit terbesar pada 2018 mencapai US$ 31,1 miliar.
Presiden Joko Widodo pun pada tahun lalu sibuk memikirkan langkah pemerintah untuk memangkas defisit transaksi berjalan. Ia kemudian berjanji untuk menyelesaikan masalah klasik perekonomian Indonesia tersebut dalam empat tahun melalui transformasi ekonomi.
“Saya yakin penyakit ini akan bisa kami selesaikan dalam waktu tiga sampai empat tahun yang akan datang,” ujar Jokowi saat memberikan sambutan di acara peringatan hari ulang tahun ke-8 Nasdem di JI-Expo pada 11 November 2019.
Salah satu langkah yang akan dilakukan pemerintah, menurut Jokowi, adalah menekan impor. Ia bahkan menekankan siap menindak tegas jika ada pihak yang menghalangi rencananya itu.
Belum genap setahun, harapan Jokowi terkabul. Impor pada kuartal ketiga turun drastis dan membuat surplus besar pada neraca perdagangan serta transaksi berjalan.
Kepala Ekonom BCA David Sumual menjelaskan, surplus perdagangan pada kuartal ketiga lebih besar dari prakiraan. Kinerja ekspor masih cukup baik di tengah impor yang turun tajam.
"Ada andil impor yang turun tajam terutama pada barang modal dan bahan baku karena kondisi ekonomi yang lesu. Tapi di luar dugaan, ekspor masih cukup bagus," ujar David kepada Katadata.co.id.
David memperkirakan transaksi berjalan sepanjang tahun ini akan mencatatkan defisit di bawah 1% terhadap PDB. Current account deficit pun akan kembali meningkat pada tahun depan seiring dengan pemulihan ekonomi.
"Tahun depan kemungkinan defisit transaksi berjalan meningkat tapi masih akan di kisaran 1% hingga 2% karena masih masa pemulihan ekonomi," katanya.
David menilai transformasi yang termuat dalam Omnibus Law Cipta Kerja dapat membantu menurunkan defisit transaksi berjalan yang menjadi masalah klasik Indonesia saat perekonomian tumbuh. Namun, dampaknya akan terlihat saat aturan-aturan telah diimplemengtasikan.
Direketur Riset Core Indonesia Piter Abdullah menjelaskan surplus transaksi berjalan baik bagi perekonomian. Namun, surplus tersebut kurang sempurna karena bukan didorong oleh kenaikan ekspor akibat produktivitas dan daya saing yang meningkat melainkan penurunan impor di tengah pandemi.
"Sebenarnya saya juga belum yakin transaksi berjalan pada kuartal tiga surplus. Demikian juga dengan kuartal IV. Mungkin mengecil defisitnya, tetapi belum sampai surplus," ujarnya.
Efek ke Rupiah
Meski BI memproyeksi neraca berjalan akan surplus, kurs rupiah pada September bergerak melemah mencapai 2,13% poin to point. Perry menjelaskan, pelemahan rupiah dipengaruhi oleh ketidakpastian di pasar keuangan akibat fakor domestik maupun global.
"Rupiah yang saat ini bergerak di kisaran Rp 14.740 per dolar AS masih berada di bawah nilai fundamentalnya. Rupiah masih berpotensi meningkat seiring defisit transaksi berjalan dan inflasi yang rendah," katanya.
Bank Indonesia, menurut Perry, akan terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sesuai dengan fundamentalnya dan bekerjanya mekanisme pasar. Ini akan dilakukan melalui efektivitas operasi moneter dan ketersediaan likuiditas di pasar.
David juga menilai pergrakan rupiah lebih banyak didominasi oleh arus keluar modal asing di instrumen portofolio, terutam saham. "Rupiah ini penggeraknya adalah aliran modal asing di portofolio. Sejauh ini penggerak dari inflo belum besar," ujar David.
Namun, David menilai kurs rupiah saat ini sudah cukup seimbang. Dalam kondisi saat ini, menurut dia, pelemahan rupiah dapat menjadi bantalan bagi perekonomian terutama untuk mendorong ekspor.
"Rupiah hingga akhir tahun ini kemungkinan akan mendekati Rp 15 ribu per dolar AS, mungkin akan melampaui itu jika ada sentimen negatif yang tiba-tiba terjadi." katanya.
Mengutip Bloomberg, rupiah pada perdagangan hari ini ditutup di posisi Rp 14.725 per dolar AS. Sepanjang tahun ini, rupiah telah melemah 6,2%.