Bank Indonesia mencatat penyaluran kredit perbankan pada September 2020 sebesar Rp 5.529,4 triliun, turun 0,4% dibanding periode yang sama tahun lalu. Pada Agustus, total penyaluran kredit masih tumbuh 0,6% secara tahunan.
Berdasarkan jenisnya, penyaluran kredit modal kerja atau KMK paling terpukul dengan penurunan sebesar 3,1%. "Penurunan antara lain terrjadi pada KMK sektor industri pengolahan serta sektor perdagangan, hotel dan restoran," ujar Direktur Eksekutif Departmen Komunikasi BI Onny Widjanarko dalam keterangan resminya, Jakarta, Selasa (27/10).
KMK sektor industri pengolahan turun 1,7%, lebih dalam dari bulan sebelumnya 1,3%. Penurunan tersebut terutama terjadi pada kredit industri makanan khususnya di DKI Jakarta darn Jawa Timur.
KMK sektor PHR juga turun 5,5%, lebih dalam dibandingkan pertumbuhan bulan Agustus 2020 yakni 4,3%. Penurunan terutama terjadi pada kredit modal kerja subsektor perdagangan minyak kelapa sawit di Sumatera Utara dan Lampung.
Di sisi lain, kredit investasi dan konsumsi masih tumbuh meski melambat. Kredit investasi pada September tumbuh 3,4%, melambat dari 4% pada bulan sebelumnya, sedangkan kredit konsumsi tumbuh melambat dari 2,9% menjadi 2,2.
Perlambatan pada penyaluran kredit investasi terjadi seiring kredit sektor listrik, gas, dan air bersih yang turun 0,6% dan sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan serta sektor listrik, gas, dan air bersih yang tumbuh melambat dari 1,4% menjadi 1,2%.
Sementara kredit konsumsi melambat terutama akibat anjloknya kredit kendaraan bermotor mencapai 18% menjadi Rp 116,5 triliun, lebih dalam dari bulan sebelumnya sebesar 15,1%. Adapun kredit kepemilikan rumah/apartemen (KPR/KPA) masih tumbuh meski melambat dari 3,4% menjadi 2,1% dengan penyaluran mencapai Rp 509,6 triliun.
BI juga mencatat dana pihak ketiga pada kuartal ketiga tumbuh mencapai 12,1%, lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya. Kenaikan DPK terutama ditopang oleh simpanan giro yang tumbuh mencapai 22,9%, lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya 22,2%. Sementara pertumbuhan tabungan meningkat dari 10,2% menjadi 11,4%, sedangkan pertumbuhan simpanan berjangka naik dari 5,9% menjadi 7%.
Direktur Riset Center Of Reform on Economics Piter Abdullah Redjalam menilai pertumbuhan kredit memang belum mengalami perbaikan walaupun sempat tumbuh tipis. "Selama pandemi masih berlangsung pertumbuhan kredit bisa dipastikan akan tertekan," kata Piter kepada Katadata.co.id, Selasa (27/10).
Menurut ia, hal tersebut terjadi karena tidak adanya permintaan dari masyarakat. Sementara, suplai kredit juga terbatas karena bank akan sangat hati-hati dalam penyaluran.
Piter pun berpendapat penyebab anjloknya pertumbuhan KMK karena dunia usaha yang masih sangat lesu. Walaupun pembatasan sosial berskala besar sudah dilonggarkan, tetapi selama pandemi masih berjangkit dia memperkirakan pertumbuhan kredit akan tetap sangat rendah atau bahkan negatif.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Haryadi Sukamdani mengatakan sebagian besar pengusaha masih kesulitan memperoleh kredit dari bank. Pembiyaan hanya dapat dikantongi oleh sebagian kecil perusahaan yang bisnisnya masih berjalan cukup baik. "Yang masih bisa ambil kredit, seperti perusahaan yang memproduksi bahan pokok, obat=obatan, kesehatan, dan masih bisa ekspor. Sisanya masih kesulitan," ujar Hariyadi kepada Katadata.co.id, pertengahan bulan ini.
Bank, menurut dia, masih melihat risiko dari bisnis yang sulit di tengah pandemi Covid-19. Banyak perusahaan yang kini membutuhkan modal kerja karena sudah tidak memiliki cukup kas untuk menjalankan operasional perusahaan. "Permintaan pembiyaan oleh perusahaan ke perbankan sangat mungkin meningkat, tetapi banyak yang pengajuannya ditolak karena prospek bisnis sedang tidak bagus," katanya.
Hingga kini, pemerintah belum juga merealisasikan program penjaminan kredit korporasi yang sudah dijanjikan sejak pertengahan tahun. Hariyadi berharap program ini segera terealisasi sehingga dapat memberi nafas bagi dunia usaha. Program penjaminan kredit pemerintah rencananya akan diprioritaskan untuk beberapa sektor, antara lain pariwisata, otomotif, tekstil dan produk tekstil, alas kaki, elektronik, kayu olahan, furnitur, produk kertas, serta usaha padat karya dengan kriteria terdampak pandemi corona.
Hasil survei Badan Pusat Statistik menunjukkan, hanya 25,94% pelaku usaha yang memperkirakan dapat bertahan lebih dari 3 bulan tanpa bantuan pemerintah, terlihat dalam databoks di bawah ini.