Menanti Banjir Dana ke Pasar Keuangan Indonesia dari Hasil Pilpres AS

ra2studio/123rf
Ilustrasi. Amerika Serikat menggelar pemilihan presiden pada 3 November 2020.
Penulis: Agustiyanti
3/11/2020, 19.17 WIB

Amerika Serikat bersiap menggelar pemilihan presiden pada hari ini, 3 November 2020 dengan dua kandidat, Presiden Donald Trump dan mantan Wakil Presiden Joe Biden. Pesta politik yang digelar negara dengan ekonomi terbesar dunia ini akan berdampak ke ekonomi Indonesia, salah satunya pada pasar keuangan.

Hasil jajak pendapat yang digelar berbagai lembaga di AS mengunggulkan Biden dibandingkan Trump. Survei yang digelar Reuters dengan lembaga riset pasar, Ipsos secara mingguan sejak pertengahan September salah satunya. Hasilnya, Biden selalu memimpin Trump di tiga negara bagian.

Kepala ekonom di Renaissance Capital, Charles Robertson mengatakan pasar negara berkembang berpotensi lebih baik jika Biden terpilih. Dia berargumen pasar ekuitas dan obligasi belum memasukkan perhitungan terkait kemungkinan Biden menang lantaran pernah gagal mengantisipasi kemenanganan Trump pada Pilpres 2016.

"Saya tidak berpikir investor bertaruh besar-besaran. Guncangan tahun 2016 begitu signifikan sehingga para investor tidak terlalu mempercayai jajak pendapat. Namun, saya yakin investor akan banyak mengalokasikan uang ke emerging market," ujar Robertson mengutip Financial Times.

Ada persepsi bahwa pasar emerging market akan bernasib lebih baik jika bukan karena Trump. Analis di BlueBay Asset Management Timothy Ash menyebut, kepresidenan Trump tidak baik untuk pertumbuhan perdagangan global karena sikap proteksionis pemerintah.

"Emerging market adalah proksi untuk pertumbuhan global dan kemenangan Biden berarti lebih banyak pertumbuhan dan perdagangan global," katanya.

Pasar negara berkembang mengalami tekanan sejak pandemi Covid-19 menyebar dan ketidakpastian global, salah satunya terkait pilpres AS. Namun, volatilitas di pasar negara berkembangan sudah mulai mereda, lebih baik dari kondisi negara maju.

Mengutip Reuters, Citigroup Inc mengatakan pada pekan lalu bahwa kondisi terburuk pada pasar keuangan negara berkembang telah berakhir. Morgan Stanley juga memperkirakan gejolak akan terus mereda karena hasil pemungutan suara sudah semakin jelas.

Ekuitas dan mata uang pasar negara berkembang naik ke level tertinggi dalam delapan bulan terakhir pada Jumat (30/10). Sementara pasar surat utang dengan denominasi mata uang lokal mengalami minggu terbaik sejak Mei.

IMF pada Oktober merevisi proyeksi pasar dan ekonomi negara berkembang (Emerging Markets and Developing Economies/EMDEs) menjadi negatif 1,7% pada 2020, lebih baik dari proyeksi April yang  negatif 2,7% seperti terlihat dalam databoks di bawah ini.

Ahli Strategi Rabobank di London, Piotr Matys mengatakan, pasar mulai memposisi diri untuk dosis baru stimulus fiskal dan kemenangan Biden, hingga kemungkinan Partai Demokrat kembali memegang kendali atas Senat AS. "Bahkan jika tidak ada kesepakatan stimulus sebelum 3 November, pasar tahu bahwa hanya masalah waktu kapan paket fiskal akan diimplementasikan," katanya.

Data terbaru The Institute of International Finance menunjukkan, aliran modal asing yang masuk ke negara-negara emerging market melonjak ada Oktober dari US$ 7,5 miliar pada September menjadi US$ 17,9 miliar. Aliran dana masuk ditopang oleh perbaikan ekonomi global dan kekuatan sektor teknologi. Namun, aliran dana asing di penghujung bulan mulai surut akibat sentimen gelombang kedua Covid-19 dan ketidakpastian global.

Sementara itu, data Otoritas Jasa Keuangan justru menunjukkan bahwa investor asing mencatatkan arus modal keluar pada bulan lalu. Asing mencatatkan jual bersih pada pasar saham sebesar Rp 1,7 triliun dan pasar Surat Berharga Negara Rp 22,68 triliun.

Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy menjelaskan dampak pilpres AS terhadap aliran modal asing hingga pekan lalu cenderung menjadi sentimen negatif. Ini wajar karena investor berada dalam periode konsolidasi menunggu hasil pilpres. 

"Jika Pilpres AS selesai, aliran modal asing ke Indonesia akan dipengaruhi oleh siapa pemenangnya. Terpilihnya Trump akan menimbulkan ketidakpastian perekonomian global karena ada bayang-bayang perang dagang dengan Tiongkok dan episode baru perang dagang AS-Eropa," katanya.

Sementara sentimen positif akan datang jika Biden terpilih. Ini lantaran Biden sudah berjanji akan mengutamakan negosiasi dengan Tiongkok dan era proteksionisme diperkirakan mereda. "Ini dapat memberikan sentimen positif kepada emerging market dan aliran modal masuk ke Indonesia," ujarnya. 

Pendapat berbeda diberikan Ekonom Insttitut Kasjian Strategis Universitas Kebangsaan Eric Sugandi. Menurut dia, Trump memiliki rencana kebijakan untuk memangkas pajak korporasi dan kelas ata sehingga dapat menimbulkan reaksi positif dari pasar jika kembali terpilih. 

Di sisi lain, Biden memiliki kebijakan untuk menaikkan pajak bagi golongan kelas atas dan korporasi. Jika mantan Wapres AS itu terpilih, sebenarnya ada risiko ketidakpastiaan terhadap kebijakan yang bisanya tidak disukai investor.

"Selain itu jika Trump kalah, volatilitas pasar akan ditentukan oleh bagaimana sikap Trump saat kalah. Kalau tidak terima, maka ada risiko pasar akan bergejolak hingga ada keputusan dari Mahkamah Agung," katanya.

Adapun dampak Pilpres AS ke pasar modal Indonesia, menurut dia, akan mengikuti arah pergerakan bursa AS dan regional. "Sementara untuk surat utang, ada resiko outflows dari SUN siapapun yg terpilih di AS tetapi hanya beberapa hari biasanya," kata dia.

USA-ELECTION/DEBATE (ANTARA FOTO/REUTERS/Mike Segar/WSJ/dj)

Rupiah Paling Diuntungkan

Riset yang dibuat Bloomberg menunjukkan rupiah bersama won Korea Selatan akan memperoleh manfaat terbesar jika arus investor asing kembali ke Asia usai Pilpres AS.

Studi skor-Z mengukur jumlah bergulir 12 bulan dari aliran modal asing masuk portofolio dan membandingkannya dengan rerata lima tahun, memperhitungkan penilaian mata uang dan fundamental ekonomi.

Arus masuk portofolio saham Korea Selatan memiliki skor Z negatif 2,3. Sedangkan dalam kasus Indonesia, aliran masuk obligasi memiliki skor-S minus 2,9%. Dengan demikian, rebound kembali ke rata-rata lima tahun akan bernilai 1,5% terhadap PDB Korea Selatan, sedangkan 1,1% dari PDB untuk Indonesia.

Pasar keuangan negara berkembang hampir tidak menerima arus masuk portofolio bersih sejak pandemi Covid-19 menghantam karena investor mengejar pengembalian ekuitas AS, saham teknologi global, dan pasar Tiongkok. Kondisi ini berbanding terbalik dengan arus masuk hampir US$ 100 miliar untuk periode yang sesuai setelah krisis keuangan global 2008.

Tanda-tanda bahwa Korea Selatan pulih dari resesi yang dipicu pandemi serta lonjakan ekspor terbesar sejak 1986 adalah di antara penarik aset negara.

“Mengingat kekuatan dalam ekonomi Korea dan pasar saham dan kurangnya arus masuk sejauh ini, permulaan jangka panjang karena arus masuk asing dapat memberikan won Korea dorongan lagi,” kata Nader Naeimi, Kepala Pasar dinamis di AMP Capital Investors Ltd. di Sydney.

Namun, jalan Indonesia menuju peningkatan arus asing terlihat lebih rumit. Bloomberg menilai Indonesia berisiko terjebak dalam lingkaran setan karena bank sentral membiarkan kondisi moneter lokal longgar untuk mendorong lembaga lokal membeli obligasi guna mengimbangi kekurangan arus luar negeri.

Upaya tersebut diperkuat dengan pembelian obligasi oleh bank sentral, sehingga menimbulkan risiko depresiasi mata uang, yang pada akhirnya membuat utang  dalam rupiah menjadi kurang menarik bagi asing.

"Negara Asia Tenggara sedang mencoba untuk memperpendek ini dengan mempertahankan mata uang, dan menahan diri dari pemotongan suku bunga kebijakan. Strategi tersebut akhirnya tampaknya membuahkan hasil, meskipun sebagian besar keberhasilannya baru-baru ini mungkin dapat dikaitkan dengan kelemahan terus-menerus dalam dolar AS," tulis Bloomberg.

BI sepanjang tahun ini telah memangkas suku bunga sebesar 2% menjadi 4% dan mempertahankan level suku bunga tersebut sejak Juli, terlihat dalam databoks di bawah ini.

Rupiah saat ini berada pada kisaran 3% di bawah rata-rata REER lima tahunnya, dibandingkan dengan 3% di atas baht Thailand - penerima manfaat potensial lainnya dari arus masuk obligasi dalam studi ini. Obligasi Indonesia juga menawarkan keuntungan hasil riil 3,5% dibandingkan dengan Thailand, berdasarkan prakiraan inflasi dari para ekonom yang disurvei oleh Bloomberg.

Namun, keyakinan terhadap Indonesia masih tertahan oleh masalah Ppengendalian pandemi Covid-19. Indonesia saat ini memiliki kasus Covid-19 terbanyak di Asia Tenggara, namun mendekam di peringkat 158 ​​dalam tabel pengujian Worldometer yang dilakukan per juta.

Reporter: Agatha Olivia Victoria