Catatan Merah BPK pada Risiko Jangka Panjang Utang Pemerintah

123RF.com/Sembodo Tioss Halala
Ilustrasi. Utang pemerintah per September 2020 mencapai Rp 5.756,87 triliun, melesat lebih dari Rp 1.000 triliun dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Penulis: Agustiyanti
10/11/2020, 16.24 WIB

Pemerintah gencar menambah utang terutama dalam setahun terakhir untuk menutup defisit anggaran yang melebar akibat pandemi Covid-19. Utang pemerintah per September 2020 mencapai Rp 5.756,87 triliun, melesat lebih dari Rp 1.000 triliun dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Rasio utang terhadap produk domestik pun meningkat dari 30,23% pada 2019 menjadi 36,41%. Pemerintah memproyeksi rasio utang terhadap PDB berpotensi mencapai lebih dari 40% pada tahun depan seiring defisit anggaran yang masih lebar akibat Pandemi Covid-19.

Penumpukan utang pemerintah bukan hanya terjadi pada tahun ini. Sepanjang 2019, pemerintah telah menambah utang mencapai Rp 422,7 triliun. Rasio utang pemerintah terhadap PDB pada tahun lalu juga naik dibandingkan 2018 sebesar 29,81%.

Melihat rasio utang yang meningkat, Badan Pemeriksa Keuangan memperingatkan pemerintah untuk mencermati risiko fiskal dalam jangka panjang. Auditor negara menekankan pentingnya pemerintah untuk menjaga kesinambungan fiskal.

Peringatan ini disampaikan BPK berdasarkan hasil review terhadap analisis kesinambungan fiskal pemerintah yang termuat dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I 2020. Laporan ini dipublikasikan pada Senin (9/11). 

Kesinambungan fiskal merupakan kemampuan pemerintah dalam mempertahankan keuangan negara pada posisi yang kredibel sehingga mampu memberikan layanan kepada masyarakat dalam jangka panjang. Hal ini perlu dipenuhi dengan memperhatikan faktor kebijakan belanja dan pendapatan, memperhitungkan biaya pembayaran utang, serta faktor sosial, ekonomi, serta lingkungan di masa depan.

Selain rasio utang terhadap PDB, pemerintah perlu mencermati rasio defisit anggaran dan keseimbangan primer terhadap PDB. BPK menyoroti capaian rasio-rasio tersebut pada tahun lalu yang meleset dari Rancangan Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019.

Auditor negara ini juga meminta pemerintah memperhatikan beberapa indikator kerentanan pengelolaan utang yang telah melampaui praktik terbaik yang direkomendasikan lembaga internasional. Beberapa di antaranya yakni rasio debt service terhadap penerimaan, rasio pembayaran bunga terhadap pnerimaan, dan rasio utang terhadap penerimaan.

Bank Dunia juga sempat menyoroti peningkatan utang negara-negara berkembang yang sangat cepat dan mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah pada tahun lalu. Sejak 2010 hingga 2019, total utang negara-negara berkembang di luar Tiongkok naik menjadi 108% terhadap PDB. Pandemi Covid-19 pun membuat beban utang banyak negara berkembang kian berat.

Presiden Bank Dunia David Malpass bahkan memperingatkan pandemi Covid-19 dapat memicu krisis utang di beberapa negara. Para investor harus siap memberikan beberapa bentuk keringanan yang antara lain dapat mencakup pembatalan utang.

"Terbukti bahwa beberapa negara tidak dapat membayar kembali utang yang mereka tanggung. Karena itu, kita harus mengurangi tingkat utang melalui keringanan atau pembatalan utang," ujar Presiden Bank Dunia David Malpass dikutip dari Reuters, awal bulan lalu.

Banyak negara miskin yang saat ini kesulitan memenuhi anggaran kesehatan untuk menangani pandemi Covid-19 karena harus memenuhi kewajiban untuk membayar bunga utang.  Untuk itu, IMF dan Bank Dunia mendorong agar kreditor negara maupun swasta memberikan restrukturisasi utang pada negara-negara yang membutuhkan. 

Adapun berdasarkan catatan bank dunia pada tahun lalu, Indonesia masuk ke dalam 10 negara dengan utang luar negeri terbesar di antara negara-negara kelompok menengah bawah. Namun, utang luar negeri tersebut juga mencakup utang swasta. Selain itu, Indonesia sejak pertengahan Juli ini sudah naik kelas ke kelompok negara menengah atas.

Utang Pemerintah Masih Aman

Kepala BKF Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menyatakan rasio utang pemerintah masih terkontrol untuk memenuhi pelebaran defisit APBN dalam rangka Pemulihan Ekonomi Nasional. Ia menekankan, pemerintah menerapkan manajemen fiskal yang disiplin.

"Kenaikan utang sangat terkontrol dibandingkan negara lain, kita sangat disiplin dan aman,” kata Febrio Kacaribu pada pekan lalu, seperti dikuti dari Antara.

Dana Moneter Internasional atau IMF pada Oktober 2020 memproyeksi rasio utang Indonesia terhadap PDB akan mencapai 38,5% pada tahun ini dan meningkat menjadi 41,8% pada 2021. Meski meningkat, rasio utang tersebut masih lebih rendah dibandingkan negara-negara anggota G20 maupun Asia lainnya.

IMF memproyeksi rasio utang terhadap PDB Jepang mencapai 266,2 persen pada tahun ini, Amerika Serikat mencapai 131,2 persen, India 89,3 persen, Malaysia 67,6 persen, China mencapai 61,7 persen, Thailand 50,4 persen dan Filipina 48,9%.

"Banyak juga negara berkembang, rasio utangnya lebih tinggi dari Indonesia, disiplin ini konteksnya kondisi yang luar biasa ini adalah prestasi bagi Indonesia," katanya.

Pemerintah memperlebar defisit APBN 2020 menjadi 6,34 persen dari PDB untuk penanganan Covid-19 dan PEN.Defisit anggaran akan diturunkan bertahap sampai mencapai batas maksimal 3 persen pada 2023. Tahun 2021, defisit fiskal pada APBN diproyeksi mencapai 5,7 persen dari PDB.

Febrio sebelumnya menjelaskan bahwa defisit anggaran dan kesimbangan primer terhadap PDB sebenarnya sudah mulai membaik sejak 2015 hingga 2019. Defisit keseimbangan primer bahkan sudah menuju 0% pada tahun lalu. "Tapi saat Covid-19, memang kita harus siap seperti ini," ujarnya awal bulan lalu.

Keseimbangan primer adalah selisih dari total pendapatan negara dikurangi belanja negara di luar pembayaran bunga utang. Febrio menjelaskan keseimbangan primer yang defisit berarti terdapat tambahan pada utang. Pemerintah pun telah menghitung dampak tersebut. Rasio utang pemerintah terhadap PDB pada tahun ini akan meningkat menjadi 37,6% dan mencapai 41,09% pada tahun depan berdasarkan proyeksi pemerintah.

Ekonom Institut Kajian Strategis Universitas Kebangsaan RI Eric Sugandi mengatakan rasio utang Indonesia terhadap PDB saat ini memang masih dalam batas aman. Namun, analisis terhadap utang takk cukup berhenti pada rasio tersebut.

"Perlu diperhatikan juga komposisi utang pemerintah yang cenderung berat ke SBN dengan porsi saat ini mencapai 80% dan penguasaan asing yang cukup signifikan di SBN," ujar Eric kepada Katadata.co.id, Senin (10/11).

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko, kepemilikan asing hingga 3 November 2020 mencapai 26,26% terhadap total SBN. Rasio kepemilikan tersebut menurut dibandingkan akhir tahun lalu yang mencapai Desember 2019. Meski demikian, menurut Eric, porsi tersebut tetap besar sehingga jika terjadi aliran modal asing keluar dapat menekan rupiah.

"Walau sekarang asing masih betah dengan yield yang tinggi, risiko capital outflow tetap ada," kata dia.

Di sisi lain, imbal hasil surat berharga negara Indonesia yang tinggi juga menjadi beban pembayaran bunga utang yang harus ditanggung pemerintah. Berdasarkan data investing.com, imbal hasil surat utang pemerintah tenor 10 tahun saat ini telah menurun ke kisaran 6,3% dari posisi akhir tahun lalu yang masih berada di kisaran 7%.

Hingga September 2020, pemerintah telah membayarkan bunga utang sebesar Rp 234,8 triliun, naik 12% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Dalam Nota Keuangan UU APBN 2021, pemerintah memperkirakan pembayaran bunga utang hingga akhir tahun ini mencapai Rp 338,8 triliun atau mencapai hampir 20% dari total proyeksi penerimaan negara. Sementara pada tahun depan, pembayaran bunga utang diproyeksi sebesar Rp 373,26 triliun atau mencapai 21,4% dari total penerimaan negara.