Daya beli masyarakat menengah bawah merosot lebih dalam akibat pandemi Covid-19 dibandingkan kelompok menengah atas. Kondisi ini berpotensi memperlebar jurang ketimpangan yang dalam beberapa tahun terakhir sudah mulai menyempit.
Survei yang dirilis BI pada Rabu (11/11) menunjukkan Indeks Keyakinan Konsumen pada Oktober menurun dari 83,4 pada September menjadi 79. Keyakinan konsumen makin tenggelam dalam zona pensimistis. IKK di bawah 100 menunjukkan keyakinan konsumen berada pada level pesimistis, sedangkan 100 ke atas menunjukkan kondisi optimistis.
Penurunan IKK terjadi pada kelompok responden dengan pengeluaran di bawa Rp 5 juta, sedangkan pada responden dengan pengeluaran di atas Rp 5 juta mengalami peningkatan keyakinan terhadap kondisi ekonomi. Kelompok pendapatan di bawah Rp 5 juta atau menengah bawah, lebih pesimistis terhadap kondisi penghasilan saat ini dibandingkan enam bulan lalu.
Keyakinan konsumen kelompok pendapatan di bawah Rp 4 juta juga menurun pada ekspektasi kegiatan usaha ke depan. Namun, keyakinan pada kondisi yang sama meningkat pada kelompok masyarakat pendapatan Rp 4 juta ke atas.
Di sisi lain, porsi pendapatan masyarakat untuk konsumsi meningkat, sedangkan untuk tabungan dan cicilan menurun. Kondisi ini tertama terjadi pada kelompok masyarakat berpendapatan di bawah Rp 4 juta.
Bank Indonesia dalam Kajian Stabilitas Keuangan Semester I 2020 yang baru dirilis pekan ini melihat kemampuan bayar masyarakat menengah ke bawah menurun. Tertahannya kinerja korporasi berdampak pada penyerapan tenaga kerja dan penghasilan sektor rumah tangga, terutama kelompok menengah bawah. Penghasilan rumah tangga yang terkontraksi mengakibatkan tekanan konsumsi pada rumah tangga.
Direktur Riset Center of Reform on Economics Indonesia Piter Abdullah menilai daya beli menengah bawah secara umum turun. Banyak pekerja dari kelompok tersebut yang mengalami penurunna hingga kehilangan penghasilan karena pengurangan jam kerja, dirumahkan, hingga terkena pemutusan hubungan kerja. Penurunan penghasilan juga dialami banyak masyarakat menengah bawah yang bergerak di sektor informal.
"Pedagang yang masih bertahan itu rata-rata yang menjual bahan pokok dan makanan, sedangkan banyak juga yang bedagang pakaian dan barang lain. Hari-hari ini siapa yang membeli pakaian, tidak banyak," ujar Piter kepada Katadata.co.id, Kamis (12/11).
Piter menilai beragam bantuan sosial yang diguyur oleh pemerintah tak cukup untuk menahan penurunan daya beli. Besaran bansos yang diberikan tak dapat menggantikan pendapatan masyarakat yang turun atau bahkan hilang. "Kalau terkena PHK dan biasanya digaji Rp 3 juta atau Rp 4 juta per bulan, tentu bansos Rp 600 ribu per bulan tidak cukup," katanya.
Penurunan daya beli masyarakat bawah ini, menurut Piter, berpotensi memperlebar jurang ketimpangan pendapatan. Hal ini dampak pandemi Covid-19 terhadap pendapatan masyarakat menengah atas tak sedalam kelompok menengah bawah.
"Pendapatan menengah atas ini mungkin sama-sama saja walaupun DPK meningkat karena kelompok ini menahan konsumsi. Tapi karena banyak masyarakat bawah yang pendapatannya terpukul, ketimpangan mungkin melebar, "katanya.
Meski demikian, Piter memperkirakan angka gini ratio yang menjelaskan ketimpangan pendapatan tak akan meningkat signifikan pada tahun ini.
Peringatan IMF
Ancaman ketimpangan yang melebar akibat pandemi Covid-19 telah diperingatkan oleh IMF dalam laporan Regional Economic Outlook Asia and Pacific Navigating the Pandemic: A Multispeed Recovery in Asia yang terbit akhir bulan lalu.
Menurut IMF, pandemi Covid-19 berpotensi meningkatkan ketimpangan pendapatan di negara-negara kawasan Asia Pasifik yang dapat berimplikasi pada pertumbuhan lebih rendah dalam jangka menengah. "Bahkan dapat memicu ketegangan sosial di negara-negara yang sudah memiliki ketimpangan yang tinggi," ujar IMF dalam laporan tersebut.
Ketimpangan yang semakin meningkat selama pandemi di negara-negara kawasan berpotensi terjadi karena pengangguran yang meningkat. Apalagi pekerja yang kehilangan pekerjaan, paling banyak terjadi pada golongan berpenghasilan rendah. Survei IMF menunjukan pandemi mulai berdampak pada pasar tenaga kerja di Asia.
Indikator frekuensi pasar tenaga kerja yang tinggi telah merosot tajam dan jauh lebih besar daripada saat krisis keuangan global. Agregat jam kerja telah menurun, serta pengangguran melonjak. Kehilangan pekerjaan terkonsentrasi di industri dengan gaji yang lebih rendah.
Catatan Badan Pusat Statistik hingga Agustus 2020, terdapat 29,12 juta penduduk usia kerja yang terdampak pandemi Covid-19. Secara perinci, 2,56 juta orang menjadi pengangguran, 760 ribu orang menjadi bukan angkatan kerja, 1,77 juta orang menjadi sementara tidak bekerja. Adapun mayoritas atau sebanyak 24,03 juta pekerja mengalami pengurangan jam kerja.
BPS mencatat total pengangguran pada Agustus 2020 bertambah 2,67 juta orang menjadi 9,77 juta orang per Agustus 2020, terlihat dalam databoks di bawah ini.
Kendati demikian, peningkatan ketimpangan bisa saja tidak terjadi jika kebijakan pemerintah bisa mengubah pola historis. Selama dua dekade jika terjadi epidemi apapun, hampir selalu terjadi peningkatan koefisien gini secara ters menerus.
BPS mencatat tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh rasio gini per Maret 2021 sebesar 0,381. Angka ini meningkat 0,001 poin jika dibandingkan dengan rasio gini September 2019 sebesar 0,380 dan menurun 0,001 poin dibandingkan dengan rasio gini Maret 2019 yang sebesar 0,382.
IMF dalam kesempatan lain juga mengingatkan agar pemerintah negara-negara G20, termasuk Indonesia tak mengurangi apalagi dukungan untuk menahan dampak pandemi Covid-19. Dampak dari wabah ini masih akan terasa hingga tahun depan. Adapun pengurangan stimulus dapat berpengaruh pada ketersediaan lapangan kerja dan kebangkrutan dunia usaha.
Direktur Eksekutif Center Of Reform on Economics Mohammad Faisal mengatakan, kenaikan ketimpangan merupakan masalah yang serius, apalagi jika terjadi secara signifikan. "Karena ini bukan hanya masalah ekonomi, tapi bisa memicu masalah sosial, keamanan, hingga ke politik," ujar Faisal.
Faisal menyarankan agar pemerintah giat menggelontorkan bantuan selama pandemi terjadi. Bantuan untuk masyarakat kecil perlu terus diberikan dalam bentuk sembako atau bantuan langsung tunai. Sedangkan untuk dunia usaha, bantuan bisa diberikan pemerintah melalui modal usaha dan insentif. Namun, stimulus untuk dunia usaha hanya perlu diberikan selama pandemi saja.
Adapun saat pandemi sudah bisa dikendalikan, Faisal menuturkan bahwa perlunya menciptakan lapangan kerja. "Harapannya dengan UU Omnimbus Law Cipta Kerja bisa merealisasi itu," kata dia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, anggaran perlindungan sosial tahun depan memang lebih rendah dibandingkan tahun ini. Hal ini lantaran ekonomi yang terpukul luar biasa akibat pandemi Covid-19 diharapkan mulai pulih pada tahun depan. Meski demikian, anggaran perlindungan sosial pada tahun depan tetap besar mencapai Rp 408 triliun, dibandingkan tahun ini yang mencapai Rp 495 triliun.
"Namun Presiden sudah indikasikan, ada beberapa program perlindungan sosial yang mungkin akan tetap dilanjutkan jika pandemi tahun depan masih terjadi dan vaksinasi belum meluas. Sekarang belum dianggarkan, tetapi mungkin akan ada modifikasi," ujar Sri Mulyani dalam Rapat dengan Komisi XI DPR di Jakarta yang ditayangkan melalui streaming video, Kamis (12/11).
Dalam UU APBN yang telah disahkan, pemerintah akan memberikan bantuan kartu sembako pada 18,8 juta keluarga, bansos tunai pada 10 juta jeluarga, dan PKH untuk 10 juta keluarga. Pemerintah juga akan menyubsidi perserta penerima bantuan iuran BPJS Kesehatan, termasuk subsidi sebagian iuran peserta mandiri kepada sebanyak 96,8 juta orang. Selain itu, pemerintah juga akan memberikan bantuan kepada 1,1 juta mahasiswa dan 20,1 juta siswa dalam Program Indonesia Pintar.
"Tapi nanti semua data akan tergantung juga pada data terpadu kesejahteraan sosial yang saat ini sedang diperbarui bersama Kemensos dan Kemendagri," kata Sri Mulyani.