Sri Mulyani: Pandemi Covid-19 Meningkatkan Ketimpangan Gender

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut sektor-sektor seperti restoran, akomodasi, hotel, dan pekerja rumahan yang banyak mempekerjakan perempuan paling tertekan akibat Pandemi Covid-19.
Penulis: Agustiyanti
18/11/2020, 18.48 WIB

Pandemi Covid-19 memberikan dampak yang lebih berat bagi perempuan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut ketimpangan gender antara perempuan dan laki-laki dalam partisipasi angkatan kerja semakin meningkat selama pandemi.

"Dampaknya lebih berat lagi bagi perempuan. Dengan kondisi seperti ini, ketimpangan gender semakin meningkat dan terjadi penurunan partisipasi angkatan kerja perempuan," katanya dalam acara UN Women Asia Pacific WEPs Awards Ceremony in Indonesia pada Rabu (18/11), seperti dikutip dari Antara.

Dampak dari krisis kesehatan ini lebih terasa bagi perempuan mengingat sektor-sektor seperti restoran, akomodasi, hotel, dan pekerja rumahan yang banyak mempekerjakan perempuan paling tertekan akibat Pandemi Covid-19. Menurut laporan awal dari ADB-UN Women’s High-Level Roundtable pada 2020, 54 persen dari 75 juta pekerja di restoran dan industri akomodasi adalah perempuan.

"Karena itulah mereka adalah pihak yang menderita dari kondisi ini karena kegiatan mereka dan pekerjaan mereka lah yang paling terdampak COVID-19," ujarnya.

Sri Mulyani menjelaskan perempuan kehilangan 50 persen jam kerjanya, sedangkan laki-laki hanya kehilangan 35 persen sehingga terjadi implikasi yang asimetris dari Covid-19, khususnya di sektor-sektor formal di Asia. Tak hanya itu, tingkat pendapatan dari 740 juta pekerja perempuan di sektor informal secara global juga berkurang sebesar 60 persen dalam bulan pertama setelah terjadinya Covid-19.

Sekitar 40 persen dari pekerja perempuan di seluruh dunia bekerja di sektor-sektor yang paling terdampak. Bahkan, 70 persen pekerja di sektor sosial dan layanan kesehatan merupakan perempuan sehingga mereka menjadi lebih rentan.

"Dunia juga mengalami kehilangan jam kerja yang cukup signifikan sebesar 18,9 persen pada 2020 atau 340 juta lapangan kerja penuh atau purna waktu pada paruh kedua 2020," katanya.

Sementara di Indonesia, menurut dia, angkatan kerja perempuan di lebih rendah dari negara lain sejak sebelum pandemi sehingga sekarang jumlahnya semakin turun akibat Covid-19.

"Indonesia pada 2020 partisipasi kerja perempuan juga telah sedikit menurun dari 55,5 persen tahun lalu menjadi 54,56 persen sementara tingkat partisipasi angkatan kerja laki-laki justru meningkat," ujarnya.

Berdasarkan data BPS pada Agustus 2020, rata-rata upah buruh laki-laki sebesar Rp 2,98 juta, sedangkan buruh perempuan sebesar 2,35 juta rupiah. Astinya, buruh perempuan mendapatkan upah lebih rendah 26% dibandingkan laki-laki.

"Ini untuk konteks Indonesia, di tingkat global ketimpangan upah gender ini 16 persen artinya perempuan dibayar jauh lebih rendah dibandingkan pekerja laki-laki," katanya.

Di Indonesia, perempuan yang bekerja sebagai yang pekerja profesional jumlahnya masih kurang dari 15 persen dan bahkan, untuk di tingkat manajer hanya sekitar 40 persen, sementara staff mencapai 50 persen.

"Artinya, lingkungan kerja di Indonesia menempatkan perempuan sebagai minoritas dan mereka menghadapi tantangan yang jauh lebih besar untuk bekerja di sektor-sektor yang sama dengan laki-laki," katanya.

Berdasarkan laporan  United Nations Development Programme pada 2018, Indeks ketimpangan gender Indonesia, termasuk yang tertinggi di ASEAN.

Direktur Bank Dunia untuk Masalah Gender, Caren Grown menyebut pandemi Covid-19 dapat menimbulkan dampak yang dalam dan bertahan lama pada diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan. Langkah-langkah penguncian dapat memperburuk ketegangan di rumah yang mengarah pada peningkatan kekerasan berbasis gender.

"Sementara pembatasan pergerakan menciptakan hambatan bagi perempuan untuk melarikan diri dari pelecehan dan mengakses layanan kesehatan," katanya dalam publikasi Bank Dunia pada Juli lalu.

Reporter: Antara