Kemenkeu: Defisit APBN RI Lebih Kecil Dibandingkan Negara ASEAN & G20

Donang Wahyu|KATADATA
Petugas penukaran mata uang merapihkan uang yang hendak ditukar dengan mata uang asing di salah satu tempat penukaran uang di Jakarta
11/1/2021, 18.41 WIB

Kementerian Keuangan mencatat rasio defisit APBN 2020 mencapai 6,09% dari Produk Domestik Bruto. Angka tersebut masih relatif lebih kecil dibanding banyak negara ASEAN maupun G20. Defisit anggaran Malaysia tercatat 6,5%, Filipina 8,1%  India 13,1%, Jerman 8,2%, Perancis 10,8%, dan Amerika Serikat 18,7% dari PDB.

“Meskipun relatif kecil dibandingkan negara-negara lain, APBN Indonesia telah bekerja secara optimal sebagai instrumen kebijakan countercyclical di masa pandemi,” ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu dalam keterangan resminya, Jakarta, Senin (11/1).

Tekanan Covid-19 menyebabkan semua negara di dunia mengeluarkan respons kebijakan fiskal yang luar biasa. Dari sisi penerimaan, kebijakan fiskal seluruh dunia diarahkan untuk membantu cashflow masyarakat dan dunia usaha melalui insentif perpajakan.

Sementara dari sisi belanja, dilakukan refocusing dan realokasi untuk mendukung penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi. Hasilnya, negara-negara di dunia mengalami pelebaran defisit yang sangat dalam. Kendati demikian, realisasi defisit fiskal Indonesia 2020 yang sebesar Rp 956,3 triliun atau 6,09% PDB termasuk cukup moderat.

Febrio menjelaskan, upaya penanganan pandemi menyebabkan terganggunya mobilitas yang berujung pada penurunan aktivitas ekonomi. Pertumbuhan ekonomi turun menjadi 2,97% pada kuartal pertama 2020 setelah pada beberapa tahun sebelumnya selalu berada di kisaran angka 5%.

Pada kuartal kedua saat pemerintah menetapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar, ekonomi terkontraksi sebesar 5,32%. Sementara pada kuartal ketiga, seiring dengan pelonggaran PSBB, perekonomian Indonesia mulai menunjukkan titik pembalikan meskipun masih terkontraksi 3,49%.

Eskalasi Covid-19 hingga akhir tahun yang relatif tinggi masih memberikan tekanan pada kinerja pertumbuhan ekonomi nasional. Secara keseluruhan 2020, pertumbuhan ekonomi RI diperkirakan mengalami pertumbuhan negatif 2,2%. Ini lebih baik dibandingkan mayoritas negara ASEAN seperti Malaysia minus 6%, Filipina terkontraksi 8,3%, Thailand minus 7,1%, dan Singapura negatif 6%.

Sementara itu, dibanding negara-negara G20 seperti Perancis yang terkontraksi 9,8%, Jerman minus 6%, sertar India negatif 10,3%, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga lebih baik. Hanya Tiongkok yang tumbuh 1,9%.

Pengamat Ekonomi Institut Kajian Strategis Universitas Kebangsaan RI Eric Sugandi mengatakan, tidak relevan membandingkan realisasi defisit dan rasionya terhadap PDB dengan negara-negara G20.

Alasannya, negara besar di G20 semisal Uni Eropa, Jepang, dan AS memang sengaja mengalokasikan anggaran yang besar untuk menangani virus corona sehingga defisit dan rasio terhadap PDB-nya juga besar.

"Lebih relevan membandingkan realisasi APBNP 2020 dengan target defisit yang berada di kisaran 6,34% PDB," ujar Eric kepada Katadata.co.id, Senin (11/1)

Terdapat dua hal yang wajib diperhatikan terkait hal tersebut. Pertama, penyerapan anggaran yang hanya 92,5% dari target dan lebih rendah daripada tahun-tahun sebelumnya yang bisa melewati 94%. Kedua, kelebihan pembiayaan yang tercermin dari pembengkakan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran.

Menurut Eric, kelebihan pembiayaan tersebut menambah beban pembayaran utang. Namun, stimulus fiskal bisa membantu pemulihan ekonomi nasional mulai kuartal III 2020. "Walaupun mungkin belum optimal karena lambatnya penyaluran anggaran di awal program PEN dan kasus korupsi yang berkaitan dengan bansos," kata dia.

Kemenkeu sebelumnya melaporkan realisasi sementara pembiayaan utang APBN 2020 mencapai Rp 1.226,8 triliun, naik 180,4% dari tahun 2019 yang sebesar Rp 437,5 triliun. Kenaikan utang terutama untuk membiayai anggaran penanganan dampak Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pembiyaan utang dilaksanakan secara prudent, fleksibel, dan terukur dengan mengoptimalkan sumber pembiayaan yang paling efisien. “Dengan defisit yang meningkat tajam, pembiayaan jadi tantangan yang sangat besar,” kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN KiTa secara virtual, Rabu (6/1). 

Realisasi pembiayaan utang selama tahun lalu melampaui target atau 100,5% dari Perpres 72 tahun 2020 sebesar Rp 1.220,5 triliun. Capaian tersebut terdiri dari penerbitan Surat Berharga Negara neto Rp 1.177,2 triliun dan pinjaman neto Rp 49,7 triliun.

Pembiayaan utang melalui SBN neto tercatat tumbuh signifikan sebesar 163,8% dari realisasi tahun sebelumnya Rp 446,3 triliun. Angka itu juga melewati target Perpres 72 yang sebesar Rp 1.173,7 triliun.  Sementara itu, realisasi pinjaman neto tumbuh negatif 667,7% dari tahun lalu yang negatif Rp 8,7 triliun. Penarikan pinjaman tersebut turut melampaui target 106,3% yang tercatat Rp 46,7 triliun.

Reporter: Agatha Olivia Victoria