Pemerintah memperkirakan kebutuhan anggaran untuk vaksinasi Covid-19 lebih besar dari estimasi awal Rp 73,3 triliun. Ini seiring harga vaksin yang mulai naik dan kemungkinan bertambahnya jumlah warga yang harus disuntik vaksin untuk menciptakan kekebalan imunitas atau herd immunity,
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan kenaikan harga terjadi akibat negara kaya mulai memborong vaksin. "Ini sudah diperingatkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia bahwa vaksinasi Covid-19 bisa menjadi tragedi moral dunia," kata Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu (27/1).
Sri Mulyani menyebutkan bahwa vaksin gratis semula akan disediakan untuk 181 juta jiwa yang tidak memiliki komorbid dan berusia 18-59 tahun. Dengan begitu, kebutuhan vaksin akan mencapai 426,8 juta dosis. Namun, jumlah ini dapat berubah tergantung pada efikasi vaksin. Efikasi vaksin rendah membuat jumlah orang yang harus divaksinasi lebih banyak.
Pemerintah saat ini telah mengamankan 633 juta dosis vaksin untuk memenuhi vaksinasi gratis yang diharapkan selesai pada tahun ini. "Meski dalam jangka waktunya sebetulnya butuh 15 bulan," ujarnya.
Vaksin yang telah diamankan yakni Sinovac 135 juta, Novavax 50 juta, Pfizer 50 juta, Astrazeneca 50 juta, dan Covax 54 juta. Vaksin Covax akan diberikan secara gratis dari kerja sama aliansi global untuk vaksin dan imunisasi (GAVI).
Anggota Komisi XI Heri Gunawan menyarankan pemerintah bisa mempercepat pengembangan vaksin buatan dalam negeri guna menghemat biaya pengadaan vaksin. "Vaksin merah putih ditunggu-tunggu masyarakat dan belum ada kabarnya," ujar Heri dalam kesempatan yang sama.
Dalam pengembangan vaksin merah putih, ia menuturkan bahwa Biofarma sudah mendapatkan dana Rp 2 triliun dan Kementerian Riset dan Teknologi Rp 300 miliar. Dengan demikian, seharusnya dana tersebut bisa cepat dipergunakan dengan baik.
Sebelumnya, Kemenristek/BRIN menegaskan akan terus mengembangkan vaksin Covid-19 Merah Putih. Melalui LBM Eijkman, pemerintah akan menyerahkan satu bibit vaksin virus corona kepada Bio Farma.
Menteri Riset dan Teknologi/BRIN, Bambang Brodjonegoro, mengatakan bibit vaksin dapat diserahkan kepada Bio Farma pada Maret 2021. Bio Farma nantinya yang akan mengolah, menguji klinik, dan memproduksi vaksin Covid-19 tersebut. Untuk membuat bibit vaksin virus corona, Eijkman menggunakan platform protein rekombinan. Awalnya, lembaga penelitian itu menggunakan protein dari sel mamalia.
Namun, fasilitas produksi Bio Farma ternyata tidak mendukung pembuatan vaksin dari sel mamalian. Perusahaan pelat merah itu pun meminta Eijkman mengganti platform protein rekombinan menggunakan sel ragi (yeist). Dengan kondisi tersebut, Eijkman pun harus membuat vaksin dengan dua platform secara paralel.
Di sisi lain, Kepala Eijkman Amin Soebandrio berharap penyerahan bibit vaksin pada Maret 2020 dapat diikuti percepatan uji klinik. Pemerintah menargetkan uji klinik bisa dimulai pada kuartal VI 2021. “Semoga bisa maju satu kuartal. Kami berharap di awal 2022 bisa mendapatkan emergency use of authorization, dan bisa mulai diproduksi massal,” ujar Amin dalam Rapat Kerja Menteri Ristek/BRIN dengan Komisi VII pada Senin (18/1).