Chatib Basri: RI Harus Pulih dari Pandemi Lebih Cepat Dibandingkan AS

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Ekonom Chatib Basri mengingatkan risiko pembalikan modal jika ekonomi negara maju pulih lebih cepat dari Indonesia.
29/1/2021, 15.39 WIB

Seluruh negara di dunia saat ini sedang berjuang untuk pulih dari dari krisis Covid-19. Ekonom Chatib Basri mengingatkan, Indonesia harus pulih lebih cepat dari negara-negara maju, terutama Amerika Serikat untuk menghindari arus modal keluar. 

Mantan Menteri Keuangan ini menjelaskan,  seluruh bank sentral dunia terutama AS, Tiongkok, dan Eropa sedang giat melakukan injeksi likuiditas di tengah krisis pandemi. Kucuran dana tersebut menyebabkan likuiditas global sangat longgar yang kemudian membuat aliran modal asing deras masuk ke aset berisiko, terutama Indonesia.

Jika ketiga negara tersebut sudah pulih,  kebijakan moneter akan dinormalisasi. "Kalau saat itu Indonesia belum pulih, ini berisiko. Negara seperti AS aan melakukan pengetatan kembali kebijakan moneternya," ujar Chatib dalam Webinar Meet The Expert, Jumat (29/1).

Saat ekonomi Negeri Paman Sam pulih, tingkat bunga di pasar keuangan negara tersebut akan naik. Dengan demikian, arus modal yang tadinya masuk ke Indonesia akan berbalik ke AS.

Kaburnya dana asing tersebut akan membuat pasar obligasi dan pasar saham RI anjlok. Implikasinya, nilai tukar rupiah berpotensi kembali melemah terhadap dolar AS.

Saat ini, Indonesia diminati investor asing di pasar keuangan karena likuiditas global yang berlimpah. Suku bunga Surat Berharga Negara juga cukup tinggi dengan bunga acuan yang rendah, sebagai langkah stabilisasi pemerintah dan Bank Indonesia dalam menangani pandemi.

BI mencatat suku bunga SBN 10 tahun Indonesia berada pada level 6,22% pada 22 Januari 2021, sedangkan imbal hasil surat utang pemerintah AS tercatat 1,106%.

Aliran modal asing atau nett inflow di pasar keuangan domestik pada tahun ini hingga 21 Januari 2021 mencapai Rp 16 triliun. Dengan derasnya aliran modal asing tersebut, nilai tukar rupiah pada 20 Januari 2021 menguat 0,77% secara rerata dan 0,14% secara point to point dibandingkan dengan level Desember 2020.

Penguatan nilai tukar rupiah berpotensi berlanjut seiring levelnya yang secara fundamental masih undervalued. Hal ini didukung oleh defisit transaksi berjalan yang rendah, inflasi yang terjaga, daya tarik aset keuangan domestik yang tinggi, premi risiko Indonesia yang menurun, serta likuiditas global yang besar. 

Direktur Riset Center Of Reform on Economics Piter Abdullah Redjalam berpendapat bahwa Indonesia memang harus pulih secepatnya dari pandemi. Struktur ekonomi RI yang lebih ditentukan oleh konsumsi dan investasi membuka peluang untuk pemulihan lebih cepat dibandingkan negara lain jika pandemi Covid-19 berakhir. 

Saat pandemi berakhir, konsumsi masyarakat akan lebih dahulu meningkat dan mendorong bangkitnya perekonomian. Konsumsi yang meningkat juga akan memicu investasi sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi.

Kondisi tersebut, sambung Piter, berbeda dengan negara maju yang pemulihannya cenderung lambat karena struktur ekonominya lebih kompleks dan sangat bergantung kepada ekspor. Ini artinya, mereka membutuhkan permintaan dari perekonomian global. "Kalau sampai kita lebih lambat pulih dari negara maju, termasuk AS berarti ada yang salah dalam kebijakan pemulihan ekonomi kita," kata Piter kepada Katadata.co.id, Jumat (29/1).

Badan Pusat Statistik melaporkan struktur produk domestik bruto RI dari sisi pengeluaran yakni 88,4% berasal dari konsumsi rumah tangga dan investasi pada kuartal ketiga 2020. Sementara, konsumsi pemerintah sumbangannya 9,76% dan sisanya merupakan komponen lain.

 

Amerika Serikat saat ini menjadi negara dengan jumlah kasus terbesar di dunia mencapai 26,34 juta dan kematian 443 ribu orang berdasarkan data worldometer.com hingga Jumat (29/1). Sementara itu, jumlah kasus di Indonesia telah menembus 1 juta dan jumlah kematian 29 ribu orang.

Reporter: Agatha Olivia Victoria