BPS: Produksi Beras Naik Tipis Tahun Lalu, Harga Beras Stabil

ANTARA FOTO/Feny Selly/foc.
Ilustrasi. BPS memproyeksi produksi beras pada Januari-April 2021 akan meningkat dari 11,46 juta ton pada Januari-April 2020 menjadi 14,54 juta ton.
Penulis: Agustiyanti
1/3/2021, 16.41 WIB

Badan Pusat Statistik mencatat luas lahan panen padi pada tahun lalu menurun 20,61 ribu hektare dibandingkan 2019 menjadi 10,66 juta hektare. Meski demikian, produksi beras naik dari 31,31 juta ton menjadi 31,33 juta ton. Produksi beras pada tahun ini berpotensi meningkat, tetapi akan bergantung pada faktor curah hujan.

Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan, penurunan luas panen terjadi karena terjadi curah hujan yang cukup tinggi saat awal musim panen. "Pada Januari-April 2020, luas panen turun jauh dibandingkan 2019 karena ada curah hujan yang tinggi sehingga berdampak pada pertanaman padi," ujar Suhariyanto dalam konferensi pers, Senin (1/3).

Meski demikian, menurut dia, produksi beras pada tahun lalu naik tipis karena peningkatan produktivitas di beberapa sentra produksi seperti Jawa Timur, Lampung, dan Aceh. "Kondisi ini yang membuat harga beras pada 2020 stabil dan tidak menyumbang andil pada inflasi," katanya.

BPS memperkirakan luas panen padi pada awal masa panen tahun ini Januari-April akan mencapai 4,86 juta ha. Proyeksi tersebut dibuat berdasarkan pengamatan BPS hingga akhir Januari.

"Pola yang terjadi pada 2021 mendekati 2019, sehingga potensi Januari-April 2021 mengalami peningkatan 26,5% dibandingkan periode yang sama 2020. Angka potensi ini menjanjikan, tetapi harus diwaspadai curah hujan tinggi," kata Suhariyanto.

Menurut Suhariyanto, curah hujan tinggi hingga banjir masih berpotensi menimbulkan gagal panen dan menganggu produksi beras. Banjir saat ini terjadi pada beberapa wilayah sentra produksi, seperti Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan. 

BPS memproyeksi produksi beras pada Januari-April 2021 akan meningkat dari 11,46 juta ton pada Januari-April 2020 menjadi 14,54 juta ton. Namun, produksi beras masih tergantung pada kondisi cuaca.  "Kami harapkan cuaca kondusif sehingga produksi beras tak terganggu dan harga tetap stabil," katanya. 

Berdasarkan data BPS, rata-rata harga beras premium pada bulan lalu di tingkat penggilingan turun 0,08% menjadi 9.772 per kg. Sementara itu, harga beras medium turun dari Rp 9.405 per kg menjadi 9.386 per kg. 

Pemerintah saat ini menetapkan harga eceran tertinggi beras medium pada rentang Rp9.450-Rp10.250 per kg sesuai dengan Permendag Nomor 57 Tahun 2017..  Kepala Peneliti Center for Indonesian Policy Studies  Felippa Ann Amanta menilai kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) tidak efektif dalam menekan harga beras di tingkat konsumen.

Felippa menjelaskan pada kenyataannya, harga beras selalu lebih tinggi dari HET yang diterapkan sejak September 2017 tersebut. Harga beras di pasar ritel Indonesia secara konsisten selalu di atas HET. "Kesenjangan antara HET dan harga pasar akan merugikan para pelaku usaha. Kalau pelaku usaha dipaksa untuk mengikuti harga HET dengan menekan margin, dikhawatirkan tidak ada pelaku pasar yang akan menjual beras domestik," kata Felippa pekan lalu seperti dikutip dari Antara.

 Menurut Felippa, langkah yang perlu dipastikan saat ini bukan fokus pada penyerapan dan penetapan HET lagi, tetapi bagaimana membantu petani meningkatkan produktivitas di tengah berbagai tantangan, seperti perubahan iklim dan pandemi Covid-19. Dengan begitu, petani hanya memastikan bahwa jumlah produksi domestik dapat meningkat dengan kualitas yang dapat bersaing di pasar.

Kebijakan HET juga dikhawatirkan akan dapat memicu adanya pasar gelap dan meningkatkan risiko kelangkaan beras. Idealnya, pemerintah harus bisa menyederhanakan rantai distribusi yang panjang dulu sebelum menerapkan HET. Rantai distribusi beras yang panjang memunculkan berbagai biaya tambahan yang harus diredam di titik akhir sebelum akhirnya beras sampai ke tangan konsumen.

Selain harga jual yang rentan tidak stabil, konsumen juga dihadapkan pada risiko mengonsumsi beras yang tidak berkualitas karena memungkinkan adanya upaya percampuran yang dilakukan pihak-pihak tertentu untuk menekan kerugian.

Untuk di sisi hilir, pemerintah sudah seharusnya membuka mekanisme impor beras untuk memenuhi kebutuhan beras tanah air dan juga untuk menahan tingginya harga di pasar yang diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan pesatnya laju pertumbuhan penduduk.

"Saat ini pemerintah tidak bisa memenuhi jumlah seluruh permintaan beras dengan harga yang terjangkau," kata dia.


Reporter: Agatha Olivia Victoria