- The Fed memastikan belum akan menarik stimulus dalam jangka pendek.
- BI mempertahankan suku bunga acuan di level 3,5% untuk menjaga stabilitas rupiah.
- Tekanan di pasar keuangan domestik mulai mereda.
Pasar akhirnya mendapat kepastian dari Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve. Gubernur The Fed Jerome Powell memastikan tak akan terburu-buru menarik stimulus meski inflasi Amerika Serikat meningkat. Efeknya, nilai tukar rupiah pada perdagangan hari ini ditutup menguat 0,12% ke Rp 14.410 per dolar AS dan Indeks Harga Saham Gabungan melesat 1,12% ke level 6.347.
Mengutip Reuters, Powell mengatakan ekonomi AS saat ini tengah menuju pertumbuhan terkuat dalam 4 tahun terakhir. Namun, The Fed berjanji untuk tak mengubah kebijakan meski terjadi lonjakan inflasi lebih besar dari perkiraan. Inflasi AS diprediksi melonjak menjadi 2,4% tahun ini, di atas target bank sentral 2%. Proyeksi inflasi tersebut membawa ekpektasi di pasar bahwa bank sentral akan menaikkan bunga dan menarik stimulus lebih cepat.
Kondisi ini sempat membawa imbal hasil obligasi AS melonjak dan menembus rekor tertinggi di level 1,6%. Kenaikan imbal hasil surat berharga AS memukul pasar surat berharga negara dan nilai tukar negara-negara emerging market, termasuk Indonesia.
Namun, Powell dalam pernyataannya Rabu (17/3) waktu AS memandang lonjakan inflasi hanya bersifat sementara sehingga tak akan mengubah janji The Fed untuk mempertahankan suku bunga acuan mendekati nol sebagai bagian dari upaya untuk memastikan luka ekonomi dari pandemi sembuh sepenuhnya.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo pun optimistis aliran modal asing akan kembali masuk ke pasar keuangan seiring pernyataan The Fed yang memberikan kepastian terhadap keberlanjutan stimulus. "Ke depan pasar semakin lama akan semakin memahami dampak kebijakan fiskal dan stance moneter AS sehingga menurunkan ketidakpastian," kata Perry dalam Konferensi Pers usai Rapat Dewan Gubernur BI, Kamis (18/3).
Perry menjelaskan, ketidakpastian di pasar keuangan yang terjadi belakangan inimerupakan dampak kekhawatiran investor, The Fed akan mengubah kebijakan moneternya. Hal tersebut karena besarnya guyuran stimulus Presiden AS Joe Biden yang berpotensi mengerek inflasi.
Kendati begitu, The Fed telah menegaskan bahwa tingkat inflasi di Negeri Paman Sam tak akan lebih dari 2%. "Kecuali pada April atau Mei yang kemungkinan lebih dari 2% tapi itu akan turun kembali," ujar Perry.
Indeks harga konsumen atau inflasi AS per Februari 2021 tumbuh 0,4% secara bulanan dan 1,7% secara tahunan. Sementara, inflasi inti yang tidak menyertakan bahan makanan dan energi tercatat 0,1%.
Usai pernyataan Fed tadi malam, Perry menyebutkan bahwa yield surat utang Negeri Paman Sam tenor 10 tahun mulai menurun dari 1,67% menjadi 1,61%. Alhasil, tekanan terhadap nilai tukar rupiah dan imbal hasil SBN pun menurun.
Perry memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS tahun ini meingkat seiring stimulus jumbo US$ 1,9 triliun yang berlaku sejak Rabu (17/3). Selain itu, terdapat pula rencana tambahan stimulus fiskal sebesar US$ 2 triliun pada kuartal IV 2021. "Ini akan menopang ekonomi global yang diperkirakan tumbuh 5,1%," katanya.
BI mencatat, aliran masuk investasi portofolio asing ke pasar keuangan domestik relatif tertahan seiring ketidakpastian pasar keuangan global yang meningkat. Hal ini tercermin dari investasi portofolio yang mencatat net outflow sebesar US$ 1,57 miliar pada bulan Maret 2021, setelah sebelumnya mencatat net inflow sebesar US$ 7,14 miliar pada periode Januari-Februari 2021.
Nilai tukar rupiah pun melemah 2,2% secara rerata dan 1,16% secara point to point per 17 Maret 2021 dibandingkan dengan level Februari 2021. Selain itu, mata uang Garuda tercatat mengalami depresiasi sekitar 2,62% dibandingkan dengan level akhir 2020. Namun, penurunan tersebut relatif lebih rendah dari sejumlah negara emerging lain seperti Brazil, Meksiko, Korea Selatan, dan Thailand.
Perry menegaskan, pihaknya akan terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamentalnya dan bekerjanya mekanisme pasar melalui efektivitas operasi moneter dan ketersediaan likuiditas di pasar. Jika diperlukan, langkah triple intervention di pasar spot, pasar DNDF (Domestic Non-Deliverable Forward), serta pasar sekunder surat berharga negara (SBN) juga akan dilakukan.
BI juga akan mengoptimalkan transaksi valas melalui skema Local Currency Swap (LCS). Skema ini dapat mengurangi penggunaan dolar AS dalam transaksi perdagangan dan investasi antar negara. Saat ini, menurut Perry, BI tengah memfinalisasi teknis operasionalisasi tukar menukar uang dengan Tiongkok. Selain dengan Tiongkok, BI juga telah memiliki kerja sama LCS dengan bank sentral Jepang, Bank Negara Malaysia, juga Bank of Thailand.
Demi menjaga stabilitas rupiah, bank sentral memutuskan untuk mempertahankan tingkat bunga acuan di level 3,5%. Adapun sejak tahun lalu, BI telah memangkas bunga acuan sebesar 1,5%.
Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance Esther Sri Astuti mengatakan ada potensi aliran modal keluar dari Amerika Serikat dengan sinyal dovish yang disampaikan The Fed. Imbasnya, Indonesia dan negara-negara emerging market dapat menjadi tujuan investor yang sebelumnya menanamkan modalnya di Negeri Adidaya.
Namun, menurut dia, pemerintah haru memberikan insentif dan kemudahan berusaha di Indonesia untuk meningkatkan minat asing berinvestasi di Indonesia. "Tingkat suku bunga RI juga harus lebih tinggi dari AS," ujar dia.
Di sisi lain, pemerintah dan BI harus tetap memitigasi jika kejadian derasnya dana asing kembali keluar dari pasar domestik. Caranya, dengan menjaga agar besarnya tingkat suku bunga tetap menarik di mata investor, menciptakan stabilitas politik dan ekonomi, serta menjaga konsistensi kebijakan agar investor merasa nyaman dan tenang karena kebijakan tidak berubah-ubah.
Selain itu, mitigasi yang lebih kompleks menurut dia yang bisa dilakukan otoritas fiskal dan moneter yaitu membuat lingkungan berbisnis lebih kondusif agar investor betah di Indonesia, menjaga biaya berbisnis di Indonesia rendah agar investasi tetap efisien dan mudah, serta, memberi akses berbagai kebutuhan yang diperlukan investor.
Analis HFX BErjangka Adhy Pangestu turut optimistis dana asing akan kembali masuk dan berlimpah ke Tanah Air usai sikap dovish The Fed. "Sikap Fed saat ini sangat tepat dan secara umum menunjukkan kondisi yang akomodatif dan sesuai," ujar Adhy kepada Katadata.co.id.
Maka dari itu, Adhy berharap BI bisa terus memperhatikan kebijakan The Fed maupun bank sentral negara lainnya. Ini karena akan berpengaruh terhadap modal asing maupun nilai tukar rupiah. "Dengan ini suku bunga BI sepertinya belum akan berubah, masih dalam mode wait and see," katanya.
Di sisi lain, Direktur Riset Center Of Reform on Economics Piter Abdullah Redjalam menilai adanya kemungkinan BI akan kembali menaikkan suku bunga acuan. Spread yield yang lebih lebar, menurut dia, dapat menahan modal asing keluar dari RI."Kebijakan itu agar spread yield kembali melebar," ujar Piter kepada Katadata.co.id.