Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan atau BI 7 Reverse Repo Rate tetap sebesar 3,5%. Keputusan ini seiring dengan upaya BI menjaga nilai tukar rupiah di tengah meningkatnya ketidakpastian pasar global dan perkiraan inflasi yang tetap rendah.
"Setelah mencermati dan melihat berbagai asessmen ekonomi global dan domestik, Rapat Dewan Gubernur BI 17-18 Maret 2021 memutuskan untuk mempertahankan BI 7 days reverse repo rate 3,5%," ujar Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Konferensi Pers usai Rapat Dewan Gubernur BI, Kamis (18/3).
Suku bunga fasilitas simpanan alias deposito facility tetap 3%. Demikian pula dengan bunga pinjaman atau lending facility tetap 4,5%. BI telah menurunkan suku bunga acuan sejak akhir 2018 sebesar 2,5%. Khusus sepanjang tahun ini, BI 7-days reverse repo rate telah turun 1,5% ke level terendah sepanjang sejarah.
Perry menjelaskan, BI akan terus mendorong berbagai kebijakan untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional. Pihaknya akan menempuh sejumlah kebijakan lanjutan. Pertama, menjaga stabilitas rupiah agar sejalan dengan fundamental dan mekanisme pasar melalui intervensi tiga lapis.
Kedua, melanjutkan penguatan stance kebijakan moneter yang akomodatif. Ketiga, meperluas pengunaan sukuk BI pada tenor satu minggu hingga dengan satu bulan berlaku mulai 16 april 2021. Keempat, memperkuat tranpasrasi suku bunga dasar kredit secacar lebih rinci dan berkoordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait untuk mendorong kredit.
Kelima, meperkuat kebijakan rasio intermediasi perbankan, baik konvesinonal maupum syariah. Keenam, mempercepat pendalaman pasar uang melalui pengembangan repo antar pelaku pasar dan penguatan infrastruktur transaksi guna mendukung transaksi kebijakan moneter. Ketujuh memfasilitasi penyelenggaran perdagangan dan investasi serta penggunaan local currency settlement bekerja sama dengan instansi terkait pada Maret dan April 2201.
Kedelapan, melanjutkan dukungan eksositem keuangan digital, khususnya umkm melalui QRIS. Kesembilan, mendukung tim percepatan dalam rangka mendorong inovasi dan mempercepat elektronifikasi transaksi Pemda.
Perry menjelaskan, nilai tukar rupiah saat ini memang melemah dalam beberapa pekan terakhir karena ketidakpastian global, terutama dipengaruhi kenaikan surat berharga AS dan penguatan dolar yang menahan aliran modal asing masuk ke investasi portofolio.
"Perkembangan hingga 16 maret, Rupiah sudah terdepresiasi 2,26% dibandingkan akhir Desember 2020. Pelemahan ini relatif lebih rendah dr sejumlah negara emerging lain, seperti Brasil, Mexico, Korsel, dan Thailand. BI akan terus menjaga rupiah," katanya.
Di sisi lain, inflasi tetap rendah sejalan dengan permintaan domestik yang belum kuat. BI akan terus memastikan inflasi sesuai dengan kisaran target pada tahun ini sebesar 2% hingga 4%. kspekatsi inflasi pada kisaran target. "BI terus berkomitmen menjaga stabilitas harga dan memperkuat koordinasi pusat dengan daerah," katanya.
Perry optimistis perbaikan perekonomian domestik akan berlanjut, didorong oleh pemulihan ekonomi global, implementasi vaksinasi, dan sinergi kebijakan nasional. Perekonomian global berpotensi tumbuh lebih tinggi dari prakiraan sebelumnya meskipun belum berjalan seimbang dari satu negara ke negara lain.
Pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi terjadi di negara-negara yang mampu mengakselerasi vaksinasi Covid-19 serta menempuh stimulus fiskal dan moneter yang besar. Pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2021 diprakirakan akan lebih tinggi dari prakiraan sebelumnya sebesar 5,1%, terutama ditopang lebih tingginya pertumbuhan di Amerika Serikat, Tiongkok, Kawasan Eropa, dan India.
Perkembangan sejumlah indikator pada Februari 2021 mengindikasikan perbaikan yang terus berlangsung, di tengah mobilitas masyarakat yang meningkat terbatas sejalan dengan masih berlakunya pembatasan di sejumlah wilayah.
"Kinerja ekspor terus meningkat, terutama komoditas manufaktur seperti besi baja, bijih logam, kimia organik, dan mesin listrik, seiring dengan kenaikan permintaan dari negara mitra dagang utama dan perbaikan ekonomi global," ujarnya.
Selain itu, ekspektasi konsumen, penjualan eceran, dan PMI manufaktur juga menunjukkan perbaikan. Akselerasi program vaksin nasional dan disiplin dalam penerapan protokol Covid-19 diharapkan dapat mendukung proses pemulihan ekonomi domestik. Selain itu, untuk mendorong permintaan domestik lebih lanjut, sinergi kebijakan ekonomi nasional terus diperkuat.
Ekonom LPEM FEB Universitas Indonesia Teuku Rifeky mengatakan bahwa BI perlu menahan suku bunga kebijakan di level 3,5%. "Hal itu sebagai langkah pencegahan untuk menstabilkan rupiah," kaat Teuku dalam hasil kajiannya yang diterima Katadata.co.id, Kamis (18/3).
Setelah melalui periode apresiasi sejak November tahun lalu, rupiah mulai terdepresiasi kembali menjadi Rp 14.400 per dolar AS pada minggu keempat Februari 2021 dari sekitar Rp 14 ribu per dolar AS pada minggu sebelumnya. Kondisi pelemahan Kurs Garuda terutama didorong oleh kondisi pasar AS yang tidak terduga.
Menurut Riefky, pasar cukup terkejut karena tingkat inflasi AS yang lebih baik dari perkiraan, mencerminkan prospek pemulihan yang optimis setelah pandemi Covid-19. Inflasi yang lebih tinggi ditambah dengan paket stimulus Presiden AS Joe Biden sebesar US$ 1,9 triliun telah menciptakan gejolak besar di pasar obligasi Negeri Paman Sam.
Terlepas dari tanda-tanda pemulihan ekonomi yang membaik dan lebih cepat di AS, kekhawatiran pasar akan lonjakan inflasi telah memicu aksi jual besar-besaran di pasar obligasi AS sejak Februari lalu. "Kondisi tersebut mendorong investor memindahkan asetnya dari obligasi ke aset lain yang tidak terlalu rentan terhadap inflasi dan biaya pinjaman utang," ujar dia.
Rata-rata imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun naik ke level sebelum pandemi di 1,6% pada pertengahan Maret 2021. Kenaikan itu mendorong dolar AS ke level yang lebih tinggi dan menahan minat investor pada pasar negara berkembang karena semakin menipisnya perbedaan imbal hasil. Alhasil, obligasi berdenominasi mata uang lokal di pasar negara berkembang mengalami volatilitas tertinggi pada minggu-minggu ini.
Maka dari itu, dirinya menilai bahwa stabilitas rupiah harus menjadi prioritas utama BI pada bulan ini dan beberapa bulan mendatang. Alasannya, rupiah menjadi salah satu mata uang yang paling terpukul selama terjadinya ketidakpastian pasar AS.
Adapun laju depresiasi rupiah yang tercatat sebesar 3,7% sejak awal tahun merupakan yang tertinggi di antara negara-negara berkembang lainnya di Asia. "Sehingga kebijakan moneter ekspansif apapun akan terlalu merugikan BI saat ini karena kinerja kondisi ekonomi domestik juga masih jauh dari pulih," katanya.