Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) bersinergi mendorong kredit pada 38 sektor prioritas. Tujuannya untuk mengerek permintaan kredit yang belum kunjung pulih baik dari rumah tangga maupun dunia usaha.
Bank Indonesia mencatat, penyaluran kredit per Februari 2021 minus 2,15% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kontraksi tersebut lebih dalam dibandingkan Januari 2021 yang tercatat 1,92%.
Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti mengatakan 38 sektor prioritas tersebut dibagi ke dalam tiga bagian yakni sektor berdaya tahan, pendorong pertumbuhan, dan penopang pemulihan. "Kami dorong kredit ke sektor prioritas ini sehingga bisa memulihkan ekonomi," ujar Destry dalam Temu Stakeholders Untuk Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional, Kamis (1/4).
Sektor prioritas tersebut terdiri dari enam sektor berdaya tahan yang terdiri dari holtikultura, tanaman perkebunan, serta pertambangan biji logam. Lalu, industri makanan dan minuman, industri kimia farmasi, serta kehutanan dan penebangan kayu.
Kemudian, ada 15 sektor pendorong pertumbuhan yakni peternakan, perikanan, industri tekstil dan produk tekstil (TPT), serta industri kulit dan alas kaki. Ada pula industri barang dari logam dan elektronik, industri mesin dan perlengkapan, industri kayu dan furnitur, serta industri logam dasar.
Selanjutnya, informasi dan telekomunikasi, real estat, dan jasa pertanian. Kemudian, tanaman pangan, pengadaan air, pengolahan tembakau, serta industri barang galian bukan logam.
Di sektor penopang pemulihan, ada 17 jenis usaha yaitu pertambangan batubara dan lignit, konstruksi, industri alat angkutan, hotel dan restoran, serta jasa kesehatan. Lalu, perdagangan besar dan eceran, logistik, administrasi pemerintahan, serta jasa pendidikan.
Industri karet dan plastik, angkutan darat, angkutan rel, dan transportasi udara. Selanjutnya, asuransi dan dana pensiun, jasa penunjang keuangan, jara perantara keuangan, juga jasa keuangan lainnya.
Menurut Destry, paket kebijakan KSSK yang telah dikeluarkan pada 1 Februari 2021 mencakup kebijakan insentif fiskal serta dukungan belanja pemerintah dan pembiayaan serta stimulus moneter, kebijakan makroprudensial akomodatif, dan digitalisasi sistem pembayaran. Terdapat pula kebijakan prudensial sektor keuangan dan kebijakan penjaminan simpanan.
Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia Sunarso mengatakan, pemilihan sektor prioritas menjadi kunci utama mendorong penyaluran kredit. Menurut dia, terdapat lima sektor prioritas yang dapat mendorong pertumbuhan kredit.
Kelima sektor itu, yakni industri manufaktur, pertanian, kehutanan dan perikanan, perdagangan, konstruksi, serta akomodasi dan makanan minuman. "Semua ini akan mendorong pertumbuhan kredit dan dapat segera memulihkan ekonomi nasional," ujar Sunarso dalam acara Indonesia Data and Economic Conference 2021 yang bekerja sama dengan Barito Pacific, Kamis (25/3).
Pemilihan sektor tersebut, kata dia, didasarkan pada lima kriteria. Pertama, kontribusinya besar dalam produk domestik bruto. Kedua, penyerapan tenaga kerja yang tinggi. Ketiga, upah tenaga kerja yang murah. Keempat, analisis tabel input-output backward linkage index. Kelima, analisis tabel input-output forward linkage index.
Sunarso pun menyarankan agar dana pemulihan ekonomi nasional 2021 hingga kebijakan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan dapat difokuskan kepada lima sektor tersebut. Kontribusi lima sektor ini cukup besar terhadap perekonomian mencapai 60,1% dengan penyerapan tenaga kerja sekitar 75,4%.
Selain itu, kelima sektor ini memiliki tingkat rasio kredit macet (non-performing loan/NPL) yang rendah. "Kecuali untuk sektor konstruksi yang memiliki NPL tinggi," katanya.
Berdasarkan bahan paparannya, kredit sektor industri manufaktur, pertanian, kehutanan dan perikanan, perdagangan, serta akomodasi dan makanan minuman memilki tingkat NPL di bawah 4%. Sementara, NPL sektor konstruksi berada di kisaran 10%.
Menurut dia, sektor konstruksi memiliki NPL yang tinggi karena biasanya pemilik mengerjakan sendiri proyek konstruksi. Dengan demikian, modal kerja proyek juga dijadikan dana investasi sehingga menyebabkan kekacauan cashflow. Apalagi, proyek konstruksi memakan waktu yang lama.