Masih Ada Harapan Cerah Investasi Tesla di Indonesia

123rf.com/Lukas Gojda
Ilustrasi. Tesla selama ini masuk ke bisnis ESS melalui merek Powerwall untuk rumah tangga dan Powerpack untuk kelistrikan.
26/4/2021, 15.08 WIB

Badan Koordinasi Penanaman Modal menyebut potensi Tesla untuk berinvestasi di Indonesia masih terbuka. Pabrikan mobil asal AS ini disebut berinvestasi  pada produk sistem penyimpanan energi atau energi storage system (ESS) di Indonesia. 

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan, minat investasi tersebut tengah dikomunikasikan pemerintah bersama Tesla. "Doakan saja, masih ada secercah harapan dan optimisme Tesla masuk ke Indonesia," ujar Bahlil dalam Konferensi Pers Virtual Realisasi Investasi Kuartal I 2021, Senin (26/4).

Bahlil belum dapat memperkirakan potensi investasi yang akan masuk dari Tesla. Ia mengatakan, kewenangan untuk memaparkan detail rencana investasi Tesla tersebut berada di bawah Kementerian Koordinasi Maritim dan Investasi. 

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati sebelumnya mengatakan, Tesla memang lebih tertarik masuk bisnis ESS ketimbang baterai. "Tesla berminatnya di energy storage, bukan di baterai kendaraan listrik (EV),” kata Nicke dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII, awal Februari lalu.

Ia mengatakan, bisnis ESS sangat menjanjikan seiring dengan dorongan pemerintah menggenjot pembangunan pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS. Fungsi teknologi penyimpanan energi itu adalah menyimpan kelebihan atau cadangan listrik pada pembangkit. "Ini pasar yang besar. Pertamina pun masuk ke sana ke depannya," ujarnya.

Pertamina saat ini memiliki rencana membentuk holding baterai bernama Indonesia Battery Corporation atau IBC, bersama Indonesia Asahan Aluminium atau Inalum (MIND ID) dan PLN. Targetnya, induk usaha ini akan terbentuk pada semester pertama 2021.

Selain Tesla, dua perusahaan asing lainnya sudah menyatakan ketertarikannya masuk dalam proyek tersebut. Pertama adalah LG Energy Solution, spin off usaha dari LG Chem, asal Korea Selatan. Kedua, produsen baterai asal Tiongkok, Contemporary Amperex Technology atau CATL.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat keinginan Tesla tersebut cukup menarik.  Perusahaan melihat pasar aplikasi baterai non-kendaraan listrik di Asia Tenggara prospektif.

Selama ini, Tesla masuk ke bisnis ESS melalui merek Powerwall untuk rumah tangga dan Powerpack untuk kelistrikan. Perusahaan bentukan Elon Musk ini terus mengembangkan sistem penyimpanan energi sejak 15 tahun lalu.

ESS biasanya dipakai untuk sistem off-grid kelistrikan alias di luar jaringan PLN. Teknologi ini cocok untuk daerah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T) yang memakai panel surya dan tenaga angin (PLTB).

Kombinasi ESS pada pembangkit energi baru terbarukan (EBT) akan membuat investasi dan harga listriknya menjadi lebih murah ketimbang memakai bahan bakar minyak (BBM) ataupun gas. "Aplikasi lainnya adalah kombinasi panel surya atau pembangkit tenaga angin ditambah ESS untuk substitusi gas," ujar Fabby.

Dengan masuknya Tesla, harapannya harga sistem penyimpanan energi di Indonesia dapat lebih murah dan terjangkau. Kombinasi PLTS Atap dan teknologi penyimpanan energi dapat mempercepat disrupsi bisnis kelistrikan Tanah Air. "Manfaat buat negara, kita bisa ekspor ESS ke pasar Asia Tenggara dan Pasifik," katanya.

Reporter: Agatha Olivia Victoria