Lambatnya Vaksinasi Covid-19 Hambat Pertumbuhan Kredit Tahun Ini

ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/wsj.
Sejumlah warga antre untuk mengikuti vaksinasi COVID-19 di Gereja Katedral Keluarga Kudus, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Minggu (25/4/2021).
28/4/2021, 06.00 WIB

Center Of Reform on Economics (CORE) Indonesia memperkirakan pertumbuhan kredit hanya 7%-8% pada tahun ini, turun dari prediksi sebelumnya yang di atas 10%. Penyebabnya, proses vaksinasi virus corona yang lebih lambat dari ekspektasi.

Direktur Riset CORE Piter Abdullah Redjalam mengatakan, perkiraan tersebut seiring dengan asumsi arah perbaikan ekonomi tahun ini. Selain itu, asumsi tidak adanya gelombang kedua Covid-19, dan tidak ada interupsi dari proses perbaikan yang sedang berjalan saat ini.

"Kami harapkan semua itu bisa dijaga terus secara disiplin," ujar Piter dalam CORE Media Discussion: Quarterly Review 2021 "Mendobrak Inersia Pemulihan Ekonomi", Selasa (27/4).

Namun, proses vaksinasi berjalan relatif lambat terutama karena tersendatnya suplai vaksin impor. Hingga akhir April 2021, total penduduk yang selesai divaksin penuh baru 6,7 juta orang atau 2,5% dari total penduduk.

Lambatnya proses vaksinasi ini secara tidak langsung berpengaruh pada tingkat optimisme konsumen, khususnya di kalangan menengah ke atas yang sempat membaik pada akhir tahun lalu. Apalagi ditambah hambatan di luar skenario seperti gelombang kedua dan varian baru Covid-19.

Piter juga menilai penanganan pandemi belum sebaik yang diharapkan meski ada peningkatan. Untuk diketahui, kasus positif Covid-19 masih bertambah 4.656 orang per hari ini. Sehingga, total Kasus mencapai 1.651.794 dengan 1.506.599 pasien dinyatakan sembuh dan 44.939 orang meninggal dunia.



Berbagai kondisi ini membuat perkiraan pertumbuhan kredit kuartal I 2021 masih akan rendah atau terkontraksi. Namun, penyaluran kredit akan mulai membaik pada kuartal kedua karena dampak berbagai kebijakan pemerintah, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan terhadap penyaluran kredit baru mulia terasa. "Walaupun belum akan kembali seperti normal," katanya.

Selain akibat permintaan yang masih seret, Piter menjelaskan perbankan masih selektif memberikan kredit kepada dunia usaha. Hal tersebut tercermin dari loan at risk perbankan yang melonjak hingga 20% meski rasio kredit macet (non performing loan/NPL) masih di kisaran 3%.

BI mencatat, rerata Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) perbankan per Februari 2021 sudah turun dan berada di kisaran satu digit atau di bawah 10%. Namun, penyaluran kredit per Maret 2021 masih mengalami kontraksi 4,13%.

Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, perbankan sudah mulai menurunkan suku bunga kredit ke level satu digit seiring implementasi kebijakan transparansi SBDK. Penurunan SBDK paling besar dilakukan oleh kelompok bank BUMN yang mencapai 2,26% menjadi 8,7%.

Berdasarkan jenis kreditnya, kata Perry, penurunan paling besar terjadi pada SBDK mikro mencapai 3,46% meski levelnya masih di dua digit. Sedangkan rata-rata SBDK KPR turun 1,94% menjadi 8,19%, konsumsi non-KPR 1,93% menjadi 9,25%, korporasi 1,39% menjadi 8,26%, dan konsumsi non-KPR 1,36% menjadi 8,84%.

Selain kebijakan transparansi SBDK, penurunan bunga kredit juga didukung oleh longgarnya kondisi likuiditas. Per Maret 2021, rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) tercatat 33,58%, sedangkan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) tumbuh 9,2%.

Suku bunga acuan BI juga telah turun 150 bps sejak tahun lalu. "Di tengah kondisi likuiditas yang longgar, intermediasi perbankan masih mengalami kontraksi sebesar 4,13% pada Maret 2021," ujar Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Dewan Gubernur, Selasa (20/4).

Sejak 2020, bank sentral telah menambah likuiditas atau quantitative easing di perbankan sebesar Rp 798,85 triliun atau 5,18% dari produk domestik bruto (PDB). Realisasi itu terdiri dari Rp 726,57 triliun pada tahun 2020 dan Rp 72,27 triliun pada 2021 (hingga 16 April).

Reporter: Agatha Olivia Victoria