Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 4,5% pada 2021 dan 5% pada 2022. Prediksi tersebut muncul di tengah perbaikan kondisi global dan rencana pembukaan ekonomi secara bertahap.
Direktur ADB untuk Indonesia Winfried Wicklein mengatakan, Indonesia baru akan kembali ke jalur pertumbuhannya pada tahun depan. "Perkiraan tersebut seiring dengan pulihnya perdagangan secara berkelanjutan, kebangkitan sektor manufaktur, dan anggaran pemulihan ekonomi nasional yang besar untuk 2021,” kata Wicklein dalam siaran pers, Rabu (28/4).
Meski demikian, menurut laporan ADB, pengeluaran rumah tangga akan mulai meningkat pada tahun ini seiring melajunya program vaksinasi dan makin banyaknya sektor perekonomian yang kembali beroperasi. Investasi diharapkan akan meningkat lagi bersamaan dengan membaiknya prospek ekonomi. Namun, laju pemulihan pembiayaan atau kredit masih akan tertinggal mengingat ketidakpastian sentimen investor.
Sementara itu, inflasi yang mencapai rata-rata 1,6% tahun lalu, diperkirakan akan naik ke 2,4% pada 2021, sebelum turun lagi ke 2,8% pada 2022. Angka inflasi ini masih berada dalam rentang target Bank Indonesia lantaran tekanan inflasi akibat depresiasi mata uang dan permintaan pangan yang lebih tinggi sebagian akan diimbangi penurunan harga barang yang ditetapkan pemerintah.
Di sisi lain, ADB memprediksikan ekspor bersih yang didukung oleh kuatnya ekspor komoditas akan menyebabkan defisit transaksi berjalan mencapai 0,8% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2021. Seiring naiknya investasi tahun depan, volume barang modal impor yang lebih tinggi seperti mesin dan peralatan diperkirakan mendorong defisit transaksi berjalan Indonesia hingga 1,3% PDB pada 2022.
Kendati demikian, lembaga tersebut mengingatkan bahwa terdapat beberapa risiko yang signifikan terhadap perkiraan tersebut. Salah satunya, pemulihan global yang dapat terganggu oleh ancaman mutasi Covid-19 yang baru, laju vaksinasi yang tidak merata di dunia, dan pengetatan keuangan global yang tidak terduga sebelumnya.
Di dalam negeri, ADB menilai, pemulihan ekonomi dapat melambat bila terjadi lonjakan kasus corona selama Ramadan, keterlambatan dalam upaya vaksinasi, dan melemahnya pendapatan pemerintah. Agar terjadi pemulihan yang berkelanjutan, lembaga tersebut merekomendasikan agar Indonesia memobilisasi sumber daya domestik dan memastikan pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan.
Sementara itu, menurut ADB, kekhawatiran mengenai utang yang berlebihan dapat diatasi dengan reformasi fiskal untuk memperluas basis pajak, meningkatkan administrasi dan kepatuhan pajak, serta menutup celah-celah perpajakan. Indonesia juga dinilai perlu Mendorong pemulihan yang ramah lingkungan akan melindungi lingkungan dan mendukung pertumbuhan ekonomi, serta membuka lapangan kerja.
Dana Moneter Internasional (IMF) sebelumnya memproyeksi ekonomi Indonesia tumbuh di bawah Malaysia, Filipina, dan Vietnam hingga 2022. Lembaga tersebut meramal pertumbuhan ekonomi ketiga negara tersebut berada di atas 6% pada tahun ini dan tahun depan. Ekonomi Malaysia akan tumbuh 6,5% pada tahun ini dan 6% pada tahun depan, Vietnam tumbuh 6,5% pada tahun ini dan 7,2% pada tahun depan, sedangkan Filipina tumbuh 6,9% pada tahun ini dan 6,5% pada tahun depan.
Sementara untuk Indonesia, IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini dari 4,8% menjadi 4,3% sementara pada tahun depan berada di level 5,8% meski melihat prospek pertumbuhan ekonomi global lebih baik. Lembaga ini juga menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi kelompok negara emerging dan berkembang Asia dari 8% menjadi 8,6%
Proyeksi yang lebih baik tersebut, menurut IMF, mencerminkan pemulihan yang lebih kuat setelah pelonggaran pembatasan di berbagai negara seperti India. "Namun, beban kasus Covid-19 masih tinggi di beberapa negara kawasan seperti Indonesia dan Malaysia pada kuartal I 2021 menutup prospek pertumbuhan," kata IMF dalam laporan World Economic Outlook Managing Divergent Recoveries yang dirilis Selasa (6/4).
Seluruh proyeksi IMF tersebut didasarkan pada kebijakan fiskal dan moneter Indonesia. Pada kebijakan fiskal, asumsi lembaga itu dilandasi oleh moderatnya kebijakan perpajakan, reformasi administrasi, hingga peningkatan belanja sosial dan modal secara bertahap selama jangka menengah sesuai kemampuan fiskal. Sementara asumsi kebijakan moneter sejalan dengan inflasi dalam rentang target bank sentral dalam jangka menengah.