Pemerintah berencana menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebagai salah satu bagian dari reformasi perpajakan. Namun, rencana ini dinilai berpotensi menahan konsumsi rumah tangga.
Pengamat Pajak Institute For Development of Economics and Finance Nailul Huda mengatakan, rencana kenaikan tarif PPN akan menahan konsumsi terutama untuk pembelian barang nominal besar seperti rumah dan mobil. "PPN 10% dari Rp 600 juta saja itu sudah Rp 60 juta sendiri, bagaimana nanti dinaikkan," kata Nailul kepada Katadata.co.id, Kamis (6/5).
Padahal, menurut dia, konsumsi masyarakat yang menjadi indikator utama pertumbuhan ekonomi saat ini mulai kembali meningkat. Pada kuartal pertama tahun ini, konsumsi masyarakat masih tercatat minus 2,23% sehingga menyebabkan perekonomian turun 0,74%. Konsumsi rumah tangga dan investasi menyumbang 88,91% struktur pertumbuhan ekonomi berdasarkan pengeluaran.
Ia menilai kenaikan PPN akan semakin menunjukkan kebijakan perpajakan pemerintah yang condong ke dunia industri. Pemerintah sebelumnya memutuskan untuk memangkas tarif PPh badan dari 25% menjadi 20% pada 2022.
Di sisi lain, menurut dia, pemerintah justru memburu pajak yang dibayarkan langsung oleh masyarakat. Selain PPN, pemerintah juga menaikkan tarif bea meterai. Pemerintah pada awal tahun ini menaikkan tarif bea meterai dari Rp 6 ribu menjadi Rp 10 ribu.
Alasan perubahan tarif bea meterai yakni belum pernah adanya kenaikan harga selama 20 tahun. Padahal, menurut dia, seharusnya ada penyetaraan perpajakan atas dokumen.
Potensi penerimaan negara dengan naiknya tarif bea meterai bisa mencapai 75%. Hanya saja, potensi kenaikan itu belum menghitung penerimaan yang dapat diperoleh dari bea meterai elektronik.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, rencana kenaikan PPN masih dibahas dan berkaitan dengan pembahasan undang-undang yang diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat yaitu RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
"Ini seluruhnya akan dibahas oleh pemerintah dan nanti pada waktunya akan disampaikan kepada publik," kata Airlangga dalam Konferensi Pers Perkembangan dan Upaya Pemulihan Ekonomi Nasional, Rabu (5/5).
Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat menjelaskan bahwa terdapat tiga RUU usulan Kemenkeu yang masuk dalam Prolegnas. "Ada RUU hubungan keuangan pusat dan daerah, reformasi keuangan, dan KUP," ujar Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN KiTa, akhir bulan Maret.
RUU KUP sendiri, sambung dia, merupakan inisiatif pemerintah sejak 2016. Adapun RUU itu akan digunakan DPR dengan pemerintah untuk memperkuat peraturan yang berhubungan dengan perpajakan.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa perpajakan mengalami dinamika luar biasa besar termasuk di tingkat global terutama dari sisi pajak digital. Maka dari itu, Indonesia tak boleh tertinggal dari dinamika tersebut sehingga penerimaan pajak dalam negeri bisa terus dijaga.