Terpuruk Lagi Akibat Pandemi, Ekonomi Jepang Minus 5,1% pada Kuartal I

ANTARA FOTO/REUTERS/Kim Kyung-Hoo/HP/dj
Ilustrasi. Jepang memberlakukan kembali pembatasan untuk menekan penyebaran Covid-19 hanya 10 minggu sebelum Olimpiade Tokyo.
Penulis: Agustiyanti
18/5/2021, 19.29 WIB

Ekonomi Jepang minus 5,1% pada kuartal pertama tahun ini, lebih buruk dari prediksi analis. Kontraksi terjadi akibat lambatnya vaksinasi dan kenaikan kasus Covid-19 yang menghantam konsumsi rumah tangga.

Belanja modal turun secara tak terduga dan pertumbuhan ekspor melambat tajam, menandakan ekonomi terbesar ketiga dunia ini sedang berjuang untuk keluar dari kelesuan.

Data-data yang suram dan perpanjangan keadaan darurat meningkatkan risiko ekonomi Jepang kembali terkontraksi pada kuartal kedua dan masuk lagi ke jurang resesi. Beberapa analis mendefinisikan resesi dengan kontraksi ekonomi dua kuartal berturut-turut.

"Konsumsi mungkin akan tetap stagnan sehingga meningkatkan risiko ekonomi terkontraksi kembali pada kuartal kedua," ujar Kepala Ekonom SMBC Nikko Securitie Yoshima Maruyama, seperti dikutip dari Reuters, Selasa (18/5).

Kontraksi ekonomi pada tiga bulan pertama tahun ini lebih buruk dari perkiraan para analis yakni minus 4,6% dan berbanding terbalik dibandingkan kuartal sebelumnya yang tumbuh melonjak 11,6%.

Penurunan ini terutama disebabkan oleh konsumsi swasta yang terkontraksi 1,4% karena penerapan keadaan darurat untuk menekan penyebaran Covid-19 menekan konsumsi masyarakat, terutama untuk pembelian pakaian dan aktivitas makan di luar.

Kontraksi yang lebih besar dari perkiraan juga cermin dari penurunan belanja modal yang mengejutkan sebesar 1,4%.

Sementara ekspor tumbuh 2,3% berkat pulihnya permintaan global terhadap produk mobil dan elektronik. Namun, laju pertumbuhan melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 11,7%.

Data menunjukkan, permintaan domestik turun 1,1% dari Produk Domestik Bruto, sedangkan ekspor bersih turun 0,2%.

"Permintaan domestik yang lemah menunjukkan efek buruk dari virus corona belum sepenuhnya berakhir," kata Takeshi Minami, kepala ekonom di Norinchukin Research Institute.

Meskipun ada stimulus moneter dan fiskal besar-besaran, ekonomi Jepang merosot ke rekor 4,6% pada tahun fiskal yang berakhir pada Maret.

"Tidak diragukan lagi akan ada uang fiskal yang dikucurkan untuk masalah ini untuk melunakkan pukulan, meskipun setelah sekian lama, sulit untuk melihat ini memiliki lebih dari efek yang cukup marjinal," kata analis di ING dalam risetnya.

Ia memperkirakan ekonomi Jepang akan kembali terkontraksi pada kuartal kedua. "Bank of Japan kemungkinan kehabisan ide untuk membuat stimulus kebijakan baru saat ini. Jadi kami tidak mengantisipasi sesuatu yang baru dari mereka selain memperluas langkah-langkah yang ada," katanya.

Menteri Ekonomi Yasutoshi Nishimura mengatakan kontraksi ekonomi disebabkan oleh langkah pembatasan untuk menekan penyebaran Covid-19. Ekonomi Jepang, menurut dia, masih memiliki "potensi" untuk pulih.

"Memang benar belanja layanan kemungkinan akan tetap di bawah tekanan pada April-Juni. Tetapi ekspor dan output akan mendapat keuntungan dari pemulihan pertumbuhan luar negeri," katanya.

Ekonomi Jepang berkembang selama dua kuartal sebelumnya secara berturut-turut setelah kemerosotan pascaperang terburuk pada April-Juni tahun lalu karena pukulan awal dari pandemi.

Pemulihan yang didorong ekspor terhenti karena konsumsi terpukul dari lonjakan strain virus baru yang memaksa pemerintah untuk memberlakukan kembali pembatasan hanya 10 minggu sebelum Olimpiade Tokyo.