Tiga Tantangan Pemerintah Mengerek Rasio Pajak yang Anjlok Tahun Lalu

Arief Kamaludin|KATADATA
Ilustrasi. Rasio pajak pada 2016 tercatat 8,91%, lalu turun menjadi 8,47% pada 2017, 8,85% pada 2018, 8,42% pada 2019, dan 6,95% pada 2020.
10/6/2021, 14.42 WIB

Pandemi Covid-19 membuat rasio pajak anjlok pada tahun lalu hanya mencapai 6,95%. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menilai, terdapat tiga tantangan yang harus dihadapi untuk mendorong indikator penerimaan pajak ini. Ketiganya, yakni basis pajak belum tertangkap sepenuhnya, kepatuhan yang belum optimal, dan insentif pajak yang masih dibutuhkan untuk mendorong ekonomi.

"Insentif cenderung masih dibutuhkan beberapa sektor ekonomi saat pandemi seperti ini," ujar Febrio dalam rapat bersama Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat, Kamis (10/6).

Berdasarkan bahan paparannya, rasio pajak kian menurun sejak 2016. Rasio pajak pada 2016 tercatat 8,91%, lalu turun menjadi 8,47% pada 2017, 8,85% pada 2018, 8,42% pada 2019, dan 6,95% pada 2020.

Rasio pajak adalah perbandingan atau persentase penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB). Angka tersebut merupakan salah satu indikator untuk menilai kinerja penerimaan pajak. Rasio pajak berbeda dengan rasio perpajakan (tax ratio) yang tak hanya menghitung persentase penerimaan pajak, tetapi juga penerimaan bea dan cukai. Namun, kondisi rasio pajak yang kian menurun pun tak jauh berbeda dengan rasio perpajakan.

Meski rasio pajak masih rendah, Febrio menyatakan tingkat kepatuhan pembayaran pajak mulai meningkat. "Rasio kepatuhan hingga akhir April 2021 mencapai 65%," ujar dia.

Rasio kepatuhan tersebut berasal dari jumlah SPT Tahunan yang meningkat 1,38 juta SPT menjadi 12,24 juta pada tahun lalu dibandingkan jumlah SPT diterima pada tahun 2020 yakni 10,86 juta. Jumlah SPT yang dilaporkan wajib pajak badan dan orang pribadi meningkat masing-masing 26,8% dan 11,8%.

Ia pun menyebutkan bahwa penerimaan pajak hingga April 2021 masih turun tipis 0,5% dari Rp 376,6 triliun pada April 2020 menjadi Rp 374,9 triliun. Realisasi tersebut merupakan 30,5% terhadap target tahun ini yakni Rp 1.229,6 triliun.

Ekonom Senior Center of Reform on Economics Yusuf Rendy Manilet mengatakan bahwa rasio pajak tak juga meningkat meski sudah sempat dilakukan program pengampunan pajak alias tax amnesty pada 2016 lalu. “Setelah program tax amnesty jilid I, saya belum melihat peningkatan kinerja perpajakan yang dijanjikan pemerintah. Kita bisa lihat rasio pajak terhadap PDB yang dalam beberapa tahun terakhir itu sebenarnya masih relatif rendah,” kata Yusuf ketika dihubungi Katadata.co.id pada akhir bulan lalu.

Sementara, dari sisi kepatuhan pajak terus meningkat pasca program tax amnesty. Meski demikian, besarannya masih di bawah target pemerintah maupun standar yang dipatok Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) sebesar 85%.

Berkaca dari kinerja sektor perpajakan tersebut, Yusuf menilai pemerintah perlu mempertimbangkan ulang rencana tax amnesty jilid II karena akan berpotensi menemui kegagalan yang sama. Hal ini mengingat psikologi pembayar pajak akan terganggu lantaran kebijakan tersebut belum lama dilakukan.

Menurutnya, para pembayar pajak bisa saja menunggu pemerintah menerbitkan kembali kebijakan tax amnesty di masa mendatang, ketimbang harus membayarkan kewajibannya pada saat ini. ”Jangan sampai dengan adanya tax amnesty jilid II justru masyarakat tidak antusias lagi karena mereka menilai tidak perlu buru-buru ikut program ini,” kata dia.

Reporter: Agatha Olivia Victoria