Dana asing mulai keluar dari pasar negara berkembang Asia karena peningkatan kasus Covid-19 berpotensi memperlambat pemulihan ekonomi kawasan. Sementara investor memperkirakan kemungkinan kenaikan suku bunga di AS dan Eropa.
Berdasarkan data Institute of International Finance, investor asing menjual US$500 juta atau setara Rp 7,15 triliun (asumsi kurs Rp 14.300 per dolar AS) lebih banyak saham dan obligasi daripada yang mereka beli di pasar negara berkembang Asia pada Mei. Ini menandai arus keluar bersih pertama sejak Desember tahun lalu. Sementara jika mengecualikan Tiongkok, aurs modal keluar melonjak menjadi US$10,8 miliar atau setara Rp 154 triliun.
Spread suku bunga dapat menjadi faktor yang lebih besar dalam pergerakan modal ke depan. The Federal Reserve AS pada hari Rabu memberikan sinyal kenaikan suku bunga usai pandemi Covid-19 akan dilakukan pertama pada 2023.
Pasar saham di Thailand, Malaysia, Filipina dan Korea Selatan mengalami arus keluar modal neto pada bulan Mei. Indeks Komposit Kuala Lumpur Malaysia dan Indeks Komposit PSE di Filipina merosot hinngga di bawah level akhir tahun lalu.
Kondisi tersebut terutama disebabkan oleh prospek pertumbuhan ekonomi yang suram. Malaysia memperpanjang lockdown untuk mengendalikan virus hingga akhir bulan ini. Sebagian besar bisnis juga telah menangguhkan operasi.
Thailand telah membatasi jam buka restoran serta turis asing, meskipun perdana menteri sekarang bertujuan untuk membuka kembali negara itu dalam 120 hari. Bulan lalu, pemerintah Thailand menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini menjadi antara 1,5% dan 2,5%, dibandingkan proyeksi sebelumnya 2,5% menjadi 3,5%.
Investor juga harus mengantisipasi prospek kebijakan moneter. Jika The Fed mengumumkan dimulainya pembicaraan tentang pengurangan pembelian aset yang meningkatkan likuiditas pada akhir tahun ini, hal itu dapat memacu lebih banyak arus keluar modal dari negara berkembang Asia di mana suku bunga relatif rendah. Mata uang negara-negara tersebut juga berpotensi terdepresasi.
Ini membutuhkan tindakan penyeimbangan yang rumit oleh bank-bank sentral di Asia. Mereka cenderung melonggarkan kebijakan moneter untuk merangsang ekonomi yang tertinggal tetapi juga harus mengurangi risiko arus modal asing keluar.
Tantangan paling penting bagi bank sentral pasar berkembang adalah menjaga kredibilitas dalam menghadapi kekhawatiran inflasi, tidak tertinggal dari bank sentral pasar maju dan "tidak terkejut dengan episode taper tantrum-esque," kata Jonathan Fortun, seorang ekonom IIF.
Pada bulan Mei, Ravi Menon, direktur pelaksana Otoritas Moneter Singapura, memperingatkan bahwa pasar negara berkembang perlu secara khusus mengawasi dampak dolar yang menguat.
"Sebuah studi MAS baru-baru ini menemukan bahwa apresiasi 1% dolar AS dikaitkan dengan arus keluar modal bersih sebesar 0,3% dari PDB pasar berkembang pada kuartal berikutnya," kata Menon.
Mata uang negara berkembang utama Asia, seperti rupiah dan baht Thailand, telah melemah terhadap dolar dibandingkan level pada akhir 2020. Depresiasi ini sangat mencolok karena modal terus mengalir ke pasar negara berkembang di luar Asia.
Kenaikan inflasi telah menjadi penyebab lain yang perlu dikhawatirkan. Di Filipina, tingkat inflasi tahun ini telah melebihi 4%, melampaui target pemerintah. Untuk Malaysia, inflasi mencapai 4,7% di bulan April karena lonjakan harga bahan bakar dan masih berpotensi naik lebih lanjut di bulan Mei.
Teppei Ino, analis pasar global senior di Mitsubishi UFJ Financial Group, mencatat Indonesia mengalami depresiasi rupiah setelah memangkas suku bunga pada Februari.
"Bank sentral di Asia kesulitan untuk menarik pemicu penurunan suku bunga tambahan," kata Ino.