Pemerintah berencana menerapkan skema multi tarif dalam perubahan pajak pertambahan nilai (PPN). Barang mewah seperti berlian hingga apartemen akan dikenakan tarif di atas 15%.
Staf Khusus Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan bahwa tarif PPN yang lebih tinggi yaitu 15% atau lebih akan diterapkan untuk barang dan jasa yang hanya dinikmati kelompok tertentu. "Barang yang sangat mewah atau mewah," ujar Yustinus dalam Diskusi Tafsir Keadilan dalam Rancangan Tarif PPN, Kamis (24/6).
Berdasarkan bahan paparannya, tarif PPN yang lebih tinggi atau di atas 15% akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Tujuan penerapan tarif tersebut yakni mengurangi sifat regresif PPN dan memberi rasa keadilan.
Tarif PPN yang lebih tinggi konsumsi barang mewah dan sangat mewah, antara lain akan diberikan untuk konsumsi rumah mewah, apartemen mewah, pesawat terbang, kapal pesiar, dan barang mewah lainnya seperti tas, arloji, dan berlian. Sementara, pajak penjualan barang mewah (PPnBM) hanya diterapkan atas kendaraan bermotor.
Selain tarif yang lebih tinggi, Yustinus menjelaskan akan ada tarif PPN lebih rendah untuk barang yang banyak dikonsumsi masyarakat. "Paling rendah 5% atau bisa juga 7% seperti untuk kebutuhan bayi atau ibu," katanya.
Pemerintah juga akan menegenakan tarif PPN final yang sangat rendah yakni 1% atau 2% kepada barang-barang ritel, pertanian, dan barang atau jasa lainnya yang sulit secara administrasi. Adapu PPN untuk kegiatan ekspor direncanakan 0%.
Secara umum, menurut dia, tarif PPN akan diubah menjadi di atas 10%. Namun, rencana tersebut masih fleksibel seiring diskusi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan berbagai pemangku kebijakan.
Ia menjelaskan, kenaikan tarif PPN yang saat ini sebesar 10% dilakukan pemerintah karena tarif yang dikenakan Indonesia masih sangat rendah dibandingkan negara-negara lain. Rata-rata tarif PPN Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mencapai 19%, sedangkan BRICS (Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) mencapai 17%. Sementara tarif PPN negara-negara di ASEAN yakni Singapura dan Thailand tercatat 7%, Malaysia dan Kamboja 10%, serta Filipina 12%.
Rencana pemerintah mengubah tarif PPN sempat menuai protes dari Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). Lembaga ini meminta pemerintah menunda rencana kenaikan tarif PPN karena masyarakat masih kesulitan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Ketua BPKN Rizal Edy Halim mengatakan, banyak anggota masyarakat yang terkena pemutusan hubungan kerja, penurunan upah, hingga bangkrut. "Apabila pemerintah meningkatkan tarif PPN akan menyebabkan kenaikan harga barang sehingga daya beli semakin tertekan," kata Rizal dalam diskusi virtual, pertengahan bulan lalu.
Harga barang yang tinggi, menurut dia, akan menyebabkan kenaikan inflasi semu. "Sama seperti di Arab Saudi ada inflasi bukan karena permintaan yang tinggi dan ini akan menekan pertumbuhan ekonomi," ujar dia.
Ia mengusulkan, pemerintah menunda sementara rencana itu hingga penanganan pandemi terkendali dan kepercayaan masyarakat sudah mulai tumbuh. Menurut dia, kebijakan menaikkan tarif PPN memang dibutuhkan untuk mencapai penerimaan yang kesinambungan.
Namun, dari sisi psikologis sosial, kebijakan tersebut menunjukkan anggapan pemerintah yang tidak peka dengan kondisi masyarakat. "Sense of crisis-nya tidak ada, kan begitu," ujarya.