Ketua Banggar DPR: Utang Pemerintah Meningkat, Tidak Perlu Panik

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR periode 2019-2024 dari Fraksi PDI Perjuangan Said Abdullah memegang palu pimpinan usai rapat penetapan Ketua Banggar di ruang Banggar, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (30/10/2019).
Penulis: Safrezi Fitra
26/6/2021, 17.33 WIB

Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah menanggapi pernyataan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait utang pemerintah. Menurutnya, pernyataan BPK ini memang baik, tetapi kurang bijak dalam mendorong situasi kondusif, dan kerja sama antarlembaga di saat krisis kesehatan dan kontraksi ekonomi.

BPK mengungkapkan adanya kerentanan rasio utang terhadap penerimaan dan rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan. Kerentanan itu dipandang oleh BPK telah melampaui batas terbaik yang direkomendasikan oleh lembaga internasional.

"Saya kira pemerintah di mana pun tidak akan mau terbelit utang, dan mewariskan utang kepada generasi berikutnya hingga menjadi beban yang tidak tertanggungkan," kata Said dalam keterangan tertulisnya, Jumat (25/6).

Dia menjelaskan pandemi Covid-19 sejak Maret 2020 direspons pemerintah melalui kebijakan counter cyclical, dengan menaikkan belanja jauh lebih besar dari penerimaan. Membesarnya belanja negara ini sebagai langkah pemerintah dalam penanganan Covid-19 sekaligus dampak sosial-ekonominya.

Penerimaan perpajakan memang turun pada 2020. Ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, untuk insentif perpajakan di berbagai sektor, khususnya UMKM sebagai puzzle pemulihan ekonomi. Kedua, kontraksi perekonomian tahun lalu berdampak pada penerimaan perpajakan.

Akibatnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 banyak didukung dari pembiayaan utang yang mencapai Rp 1.227,8 triliun. Angka ini memang melonjak dari tahun-tahun sebelumnya.

Pada 2017 pembiayaan utang hanya Rp 429,1 triliun, sempat turun setahun kemudian menjadi Rp 372 triliun. Namun, naik lagi menjadi Rp 437,5 triliun pada 2019. Secara kumulatif, terjadi lonjakan total utang pemerintah, dari Rp 4.778 triliun pada 2019, menjadi Rp 6.074, 6 triliun pada 2020. Tahun ini porsi pembiayaan dari utang bertambah lagi Rp 1.177,4 triliun.

Membesarnya tingkat utang pemerintah berdampak langsung pada kenaikan defisit utang terhadap PDB. Pada 2019 rasio utang terhadap PDB sebesar 30,2%, tahun lalu naik menjadi 39,4% dan 41,1% tahun ini. Namun, Said menekankan bahwa meningkatnya utang pemerintah ini masih jauh batas atas yang ditetapkan UU Keuangan Negara sebesar 60% dari PDB.

Selain itu, Menteri Keuangan telah membuat kebijakan mitigatif, melalui Keputusan Menteri Keuangan No 17/KMK.08/2020 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara Jangka Menengah Tahun 2020-2024. Beleid ini yang dirujuk Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang dalam menjalankan kebijakan utang pemerintah.

Dia pun menyampaikan beberapa hal menyangkut kebijakan utang pemerintah:

  1. Dalam kerja bersama, gotong royong, bahu membahu antar lembaga dan kementerian untuk menanggulangi Covid-19 dan dampak sosial ekonominya, diperlukan komunikasi yang produktif. Antar lembaga dan kementerian hendaknya tidak saling “menyerang” di muka umum. Sikap ini jauh dari kepatutan dan tidak menjadi teladan yang baik baik rakyat yang sedang sudah menghadapi pandemi.
  2. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga tinggi negara yang kedudukannya diatur kuat UU, seharusnya bertindak sesuai ketentuan perundang-undangan dan produk turunannya. Apabila ada pertimbangan lain diluar UU, bukanlah yang utama dan bukan menjadi acuan BPK menyatakan pendapat dalam menilai kinerja subyek pemeriksaan. BPK akan lebih bijak bila menemukan berbagai praktik internasional yang baik dalam tata kelola utang, sebagai saran kepada pemerintah. Sebab yang utama dari rekomendasi BPK yang bersifat mengikat adalah ketentuan perundang-undangan
  3. Profil utang pemerintah dengan mengacu data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) Kementerian Keuangan menunjukkan tren penurunan dari sisi risiko valas. Porsi valas dalam total utang pemerintah pada 2019 sebesar 37,8%, kemudian menjadi 33,5% pada tahun lalu. "Ini masih dalam koridor Keputusan Menteri Keuangan No 17/KMK.08/2020 yang menetapkan porsi utang pemerintah dalam komposisi valas maksimal 41%," kata Said.
  4. Rata Rata Tertimbang Jatuh Tempo atau Average Time to Maturity (ATM) utang pemerintah juga menunjukkan tren penurunan. Setidaknya pada rentang 2016-2020, ATM masih di bawah 9 tahun. Posisi ini menunjukkan indikator manajemen utang terkelola dengan baik. ATM utang pemerintah pada 2016 di angka 9,1 tahun, lalu turun ke angka 8,7 tahun dan 8,4 tahun pada 2017 dan 2018. Pada 2019 dan 2020, ATM utang pemerintah di angka 8,5 tahun dan 8,8 tahun.
  5. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap pembiayaan dari utang, pemerintah juga telah menempuh langkah kreatif menggunakan berbagai strategi, seperti skema proyek yang tidak harus bergantung pada APBN. Pendirian Lembaga Pengelola Investasi (LPI) ditujukan untuk mengurangi ketergantungan pembiayaan program program pemerintah dari sumber utang, termasuk juga skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) dan swasta murni, termasuk menuntut kinerja BUMN baik agar deviden BUMN memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan negara.
  6. Pemerintah juga telah mengajukan usulan revisi UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) kepada DPR. Dengan revisi ini diharapkan rasio pajak meningkat, kompatibel dengan peningkatan perekonomian nasional. Langkah ini sebagai jalan untuk mengurangi selisih dan ketertinggalan rasio pajak terhadap PDB dengan rasio utang terhadap PDB. Sehingga rasio utang terhadap penerimaan atau debt to Income Ratio (DTI) Indonesia makin kuat.

Dengan penjelasannya ini, Said berharap dapat menjernihkan sengkarut opini terkait utang pemerintah. "Isu ini memang sensitif dan kerap dijadikan alat untuk menyerang pemerintah, bukan dalam kerangka dialog yang produktif dan konstruktif," ujarnya.