Sri Mulyani Curiga Banyak Perusahaan Mengaku Rugi untuk Hindari Pajak
Pemerintah berencana menerapkan tarif pajak minimum kepada badan usaha yang akan diatur dalam revisi Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan. Menteri Keuangan Sri Mulyani curiga tren peningkatan perusahaan yang melaporkan kerugian dalam beberapa tahun terakhir merupakan upaya untuk menghindari pajak.
Ia menjelaskan, jumlah WP badan yang melaporkan kerugian meningkat dari 8% pada 2012 menjadi 11% pada 2019. Jumlah WP badan yang melaporkan kerugian selama lima tahun berturut-turut juga meningkat dari 5.199 WP pada 2012-2016 menjadi 9.496 WP pada 2015-2019.
Lebih perinci, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini memaparkan, terdapat 5.199 WP badan yang melaporkan kerugian pada 2012-2014. Jumlahnya meningkat menjadi 6.004 WP pada 2013-2017, lalu 7.110 WP pada 2014-2018 dan 9.496 WP pada 2015-2019.
Sri Mulyani curiga meningkatnya jumlah perusahaan yang melaporkan kerugian terkait dengan upaya untuk menghindari kewajiban Pajak Penghasilan (PPh). Pasalnya, banyak WP badan yang tetap beroperasi meski melaporkan kerugian bertahun-tahun. "Bahkan mereka bisa mengembangkan usahanya di Indonesia," ujar Sri Mulyani dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, Senin (28/6).
Ia menegaskan, pemerintah ingin menerapkan kebijakan yang adil melalui penerapan tarif pajak minimum. Apalagi, menurut dia, Indonesia saat ini belum memiliki instrumen penghindaran pajak atau General Anti-Avoidance Rule (GAAR) yang komprehensif.
Kendati demikian, Bendahara Negara berpendapat bahwa upaya penghindaran pajak oleh WP badan tidak hanya terjadi di Indonesia. Berdasarkan data Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), sekitar 60-80% perdagangan dunia merupakan transaksi afiliasi yang dilakukan perusahaan internasional.
Untuk Indonesia, tercatat sekitar 37-42% dari Produk Domestik Bruto (PDB) yang dilaporkan sebagai transaksi afiliasi dalam Surat Pelaporan Tahunan (SPT) WP. Dengan demikian, terdapat potensi penggerusan basis pajak dan pergeseran laba mencapai US$ 100-200 miliar atau setara dengan 4-10% penerimaan PPh badan secara global. "Jadi secara global ini memang terjadi," katanya.
Ia pun menilai perlu ada instrumen yang bisa menangkap penghindaran pajak secara global, yakni dengan penerapan tarif pajak minimum. Rencananya, tarif yang akan dikenakan yakni 1% dari dasar pengenaan pajak berupa penghasilan bruto.
Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) mengkritik kebijakan kebijakan pajak minimum yang ingin diterapkan pemerintah. Ketua HIPMI Ajib Hamdan mengatakan, kebijakan tersebut bertentangan dengan konsep objek penghasilan yakni setiap tambahan kemampuan ekonomis, artinya ketika perusahaan mendapatkan keuntungan.
Menurut dia, ketika tidak ada keuntungan, seharusnya tidak ada pajak penghasilan atas perusahaan tersebut. "Jadi ini bertentangan dengan konsep," kata Ajib kepada Katadata.co.id, Senin (7/6).
Maka dari itu, ia tidak menyetujui rencana kebijakan tersebut. Ia menilai kebijakan ini adalah cara cepat pemerintah memungut pajak dari para pelaku usaha. Pemerintah, menurut dia, seharusnya fokus untuk membuat basis data yang valid dan terintegrasi dalam mereformasi perpajakan, "Sehingga pemerintah mempunyai instrumen untuk mengukur kepatuhan pajak WP dan mengenakan pajak yang berkeadilan," ujar dia.