Sri Mulyani Minta Pemda Kreatif Cari Pendanaan Bangun Infrastruktur
Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta pemerintah daerah lebih kreatif dalam mencari sumber pendanaan untuk membangun infrastruktur. Hingga kini, pembangunan infrastruktur di daerah masih bergantung pada pendanaan dari pemerintah pusat.
"Pembiayaan alternatif seperti skema Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha, Bank Pembangunan Daerah, dan Special Mission Vehicle saat ini masih sangat terbatas," ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (28/6).
Sri Mulyani menjelaskan tren pembiayaan alternatif untuk pembangunan infrastruktur di daerah masih sangat minim. Hal ini berkaca pada data 2015-2019.
Ia menjabarkan, hanya terdapat tujuh daerah yang memanfaatkan pembiayaan infrastruktur melalui SMV Kementerian Keuangan yakni PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) senilai Rp 478 miliar pada 2015. Kemudian, hanya satu daerah yang menggunakan skema KPBU senilai Rp 135 miliar dan tiga daerah melalui PT SMI sebesar Rp 373 miliar pada 2016.
Tahun selanjutnya, hanya terdapat enam daerah yang menggunakan pembiayaan melalui BPD senilai Rp 755 miliar, 11 daerah lewat PT SMI sebesar Rp 2,09 triliun, dan satu daerah melalui perjanjian tingkat layanan atau Service Level Agreement (SLA) Rp 28,03 triliun. Pada 2018, hanya terdapat dua daerah yang menggunakan sekma KPBU dalam membiayain infrastruktur senilai Rp 3,35 triliun, 11 daerah melalui BPD Rp 1,55 triliun, dan 29 daerah lewat PT SMI sebesar Rp 6,07 triliun.
Lalu, hanya terdapat 11 daerah yang menggunakan skema pembiayaan BPD sebesar 1,29 triliun dan enam daerah melalui PT SMI yakni Rp 265 miliar pada 2019.
Sri Mulyani menegaskan, pemda tidak seharusnya mengandalkan pembangunan infrastruktur hanya memanfaatkan anggaran transfer ke daerah dan dana desa (TKDD). Pemda harus lebih kreatif dan inovatif dalam mencari pembiayaan alternatif. Ini karena APBN dan APBD hanya mampu menyediakan sekitar 30% dari kebutuhan pembiayaan infrastruktur yang mencapai Rp 6.421 triliun hingga 2024. "Namun pengaturannya tetap harus akuntabel dan pruden," ujar dia.
Maka dari itu, ia menilai terdapat urgensi pembentukan Rancangan Undang-Undang Hubungan dan Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD). Aturan tersebut diharapkan menciptakan integrasi antara pengelolaan fiskal pusat dan daerah.
Namun, Ekonom Senior Center Of Reform on Economics Yusuf Rendy Manilet berpendapat bahwa RUU ini tidak selaras dengan semangat otonomi daerah untuk dapat mandiri dalam mengelola keuangan daerah, termasuk mengendalikan defisit dan pembiayaan dari masing-masing daerahnya. "Hanya saja, tidak bisa dipungkiri bahwa otonomi daerah juga masih meninggalkan pekerjaan rumah terkait penyelerasan kebijakan pemerintah pusat dan daerah," ujar Yusuf kepada Katadata.co.id pada awal tahun ini.
Selain itu, aturan tersebut dapat menjadi pintu masuk bagi daerah untuk berdiskusi dengan pemerintah pusat terkait permasalahan APBN selama ini. Salah satunya, seperti masalah eksekusi belanja daerah hingga penumpukan dana pemda di perbankan.
Kementerian Keuangan mencatat simpanan pemda yang mengendap di perbankan mencapai Rp 182,3 triliun per Maret 2021. Jumlah tersebut meningkat 11,2% dibandingkan pada Februari 2021 yang sebesar Rp 163,95 triliun. Jika dibandingkan dengan Maret 2020, nilainya juga naik 2,7% dari Rp 177,52 triliun.
Peningkatan simpanan tersebut terjadi karena masih rendahnya belanja pemda hingga bulan lalu. Realisasinya baru sebesar Rp 98,9 triliun atau 9,4% dari APBD.