Kementerian Keuangan berupaya terus menagih utang anak usaha Lapindo Brantas Inc, PT Minarak Lapindo Jaya. Berdasarkan data Badan Pemeriksa Keuangan, total utang Lapindo pada akhir 2019 mencapai Rp 1,9 triliun.
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Rionald Silaban menjelaskan, pemerintah terus berupaya menagih utang anak usaha Grup Bakrie tersebut. Komunikasi terus dilakukan untuk menyelesaikan utang tersebut.
"Sudah ada surat menyurat dan saat ini kami sudah kembali memberikan tanggapan kepada pihak Lapindo," ujar Rionald dalam Bincang Bareng DJKN dengan tema Peran Investasi Pemerintah Melalui BUMN di Bawah Kemenkeu, Jumat (2/7).
Ia meminta agar pihak Lapindo dapat segera membayarkan kewajibannya. Namun, ia tak menjelaskan mekanisme yang akan segera ditempuh pemerintah dan besaran utang Lapindo saat ini.
Minarak Lapindo sempat menawarkan asetnya untuk membayar utang kepada pemerintah yang jatuh tempo pada 10 Juli 2019. Aset yang ditawarkan terdapat di wilayah terdampak lumpur Lapindo. Jika nilai aset tersebut masih tak cukup untuk melunasi utang, Lapindo akan membayarkannya menggunakan aset di wilayah lain.
Pemerintah sebenarnya ingin Lapindo melunasi utang dengan uang tunai. Namun setelah melalui proses konsultasi Kejaksaan Agung, tercapailah persetujuan pembayaran utang melalui aset.
Mantan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu Isa Racmatarwata pernah meminta organisasi profesi penilai, Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (Mappi) untuk memberikan penilaian atas aset yang saat ini terkubur di lumpur Lapindo. Opini Mappi dibutuhkan untuk menentukan kelayakan penilaian aset Lapindo yang telah terkubur lumpur. "Saya harus mengetahui dulu itu bisa dinilai atau tidak. Bila bisa dinilai, ada nilainya atau tidak," ujar Isa dalam sebuah diskusi virtual, pertengahan Juli 2020.
Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), total utang Lapindo Brantas dan Minarak kepada pemerintah sebesar Rp 1,91 triliun hingga 31 Desember 2019. Nilai tersebut terdiri dari pokok utang sebesar Rp 773,38 miliar, bunga Rp 163,95 miliar, dan denda Rp 981,42 miliar.
Utang ini merupakan Dana Talangan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo yang dibayarkan pemerintah pada 2015. Sesuai kesepakatan, pinjaman tersebut harus dibayar pada 10 Juli 2019. Hingga kini, Lapindo baru membayar utang Rp 5 miliar pada Desember 2018.
Lapindo juga sempat mengajukan skema penukaran utang dengan pemerintah. Perusahaan menganggap pemerintah memiliki utang sebesar US$ 138,2 juta atau sekitar Rp 1,9 triliun kepada perseroan.
Klaim utang tersebut berasal dari penggantian biaya eksplorasi minyak dan gas atau cost recovery. Namun, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas menilai klaim Lapindo tersebut tidak tepat. Lapindo belum berhasil menemukan cadangan migas sehingga belum bisa diberikan biaya penggantian.
Selain itu, biaya penggantian pun tidak dibayarkan tunai melainkan berbentuk produksi migas. “Ini bukan piutang Lapindo ke pemerintah, namun unrecovered cost atas biaya investasi yang belum dikembalikan sesuai mekanisme production sharing contract wilayah kerja Brantas,” ujar Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Wisnu Prabawa Taher pada pertengahan tahun lalu.