Badan Pusat Statistik mencatat jumlah penduduk miskin mencapai 27,54 juta orang pada Maret 2021. Rokok masih menjadi komoditas penyumbang terbesar kedua dalam perhitungan garis kemiskinan setelah beras.
Kepala BPS Margo Yuwono menjelaskan, garis kemisikinan pada Maret 2021 naik 2,96% dari Rp 458.947 per kapita/bulan pada September 2020 menjadi Rp 472.525 per kapita/bulan. Garis kemiskinan merupakan pengeluaran minimum kebutuhan makanan dan nonmakanan yang harus dipenuhi agar tidak dikategorikan miskin.
Komoditas makanan berperan besar terhadap garis kemiskinan dengan sumbangan mencapai 73,96%. "Makanan yang berpengaruh besar adalah beras dengan kontribusi 20,03% di perkotaan dan 24,06% di pedesaan," ujar Margo dalam Keterangan Pers, Kamis (15/7).
Berdasarkan data BPS, komoditas yang berpengaruh terbesar kedua adalah rokok kretek filter. Kontribusinya mencapai 11,9% di perkotaan dan 11,24% di pedesaan. Namun, kontribusi rokok terhadap garis kemiskinan ini menunjukkan tren penurunan dibandingkan Maret dan September 2020, khususnya di perkotaan.
Sementara andil terbesar ketiga yang berkontribusi pada garus kemiskinan adalah perumahan, yang mencapai 8,92% di perkotaan dan 7,94% di pedsaan. Lalu ada telur ayam ras, daging ayam ras, mie instan, gula pasir, tempe dan tahu, kopi, kue basah, bensin, listrik, pendidikan, hingga perlengkapan mandi.
Margo mengatakan, salah satu cara mengendalikan angka kemiskinan adalah menjaga harga-harga komoditas yang menjadi penyumbang utama garis kemiskinan. Angka kemiskinan pada Maret 2021 turun dari 10,19% pada
Pemerintah pada tahun ini kembali menaikkan cukai rokok mencapai 12,5%. Dengan kenaikan cukai tersebut, rata-rata harga jual eceran rokok naik 13,8% hingga 18,4%. Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya mengatakan, kenaikan cukai rokok bertujuan untuk mengurangi konsumsi masyarakat atas rokok dan tingkat prevalensi perokok usia dini.
Namun, Survei Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) menunjukkan bahwa 77,1% responden keluarga miskin tidak menurunkan konsumsi rokok-nya selama pandemi Covid-19. Konsumsi rokok mereka bahkan cenderung meningkat meski penghasilannya anjlok. Survei dilakukan kepada 1.013 kepala keluarga miskin secara tatap muka. Survei ini digelar di lima wilayah aglomerasi utama di Indonesia yaitu Jakarta Raya (Jabodetabek), Semarang Raya, Surabaya Raya, Medan Raya dan Makassar Raya.
Dari total responden tersebut, 73,2 persen perokok miskin mempertahankan pengeluaran rokok-nya meski kondisi ekonomi menurun. "Dengan demikian, pengeluaran kebutuhan lain yang turun atau bahkan ditiadakan agar dapat terus merokok dengan kuantitas yang sama," kata Yusuf Wibisono, Direktur IDEAS dalam keterangan tertulis, kamis (1/07).
Survei bahkan menunjukkan 39,7% responden mengaku rela membeli rokok yang sudah biasa mereka konsumsi meski harganya meningkat saat pandemi. Sedangkan 21,2% responden memilih untuk menurunkan pengeluaran untuk rokok karena penghasilan yang turun signifikan.
"Mereka beralih ke rokok dengan harga yang lebih murah. Namun, berpindah ke rokok murah membuat perokok miskin mempertahankan kuantitas konsumsi rokok dengan pengeluaran yang lebih rendah," katanya.