Negara-negara G20 menyepakati reformasi sistem perpajakan global yang antara lain mencakup upaya memajaki perusahaan multinasional, termasuk raksasa-raksasa teknologi. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, kesepakatan ini berpotensi mendatangkan penerimaan negara lantaran membuka peluang bagi Indonesia untuk memajaki 100 perusahaan multinasional.
"Indonesia memiliki kesempatan untuk memperoleh tambahan pemajakan atas penghasilan dari setidaknya 100 perusahaan multinasional yang menjual produknya di Indonesia." kata Febrio dalam siaran pers, Kamis, (15/7).
Peluang tersebut berdasarkan ketentuan pilar pertama yang ada dalam kesepakatan. Dalam ketentuan tersebut, Indonesia berkesempatan mendapatkan hak pemajakan atas penghasilan global yang diterima perusahaan multinasional. Syaratnya, yakni perusahaan merupakan entitas berskala besar dengan omzet global di di atas 20 miliar euro dan memiliki profit minimum 10% sebelum pajak.
Perusahaan-perusahaan tersebut, menurut Febrio, selama ini tidak membayar pajak di Indonesia, termasuk yang memasok layanan digital. Hal ini karena dalam sistem perpajakan yang lama, pemerintah tidak memiliki wewenang menarik pajak dari perusahaan yang tidak memiliki kantor fisik atau badan usaha tetap (BUT) di dalam negeri.
Sementara pada pilar kedua, perusahaan multinasional dengan nilai lebih kecil yakni minimum omzet konsolidasi 750 juta euro wajib membayar pajak penghasilan dengan nilai minimum 15% di negara domisili.
Pilar kedua ini, menurut Febrio, juga menawarkan peluang baru. Pemerintah diperbolehkan memajaki perusahaan multinasional yang berdomisili di dalam negeri meskipun tarif pajak penghasilan efektifnya kurang dari 15%. Febrio menilai kesepakatan pilar kedua ini bakal merombak sejumlah strategi pemerintah menarik investasi, terutama penghapusan insentif pajak untuk beberapa perusahaan.
Berdasarkan data OECD, sekitar 60%-80% perdagangan internasional merupakan transaksi afiliasi perusahan multinasional yang menghindari pajak. Hal tersebut dilakukan dengan memindahkan laba perusahaan ke negara dengan tarif pajak rendah. Oleh karena itu, Febrio menilai Indonesia bisa mengoptimalkan sumber penerimaan domestik lewat pemberlakuan aturan pajak global yang lebih adil.
Data juga menunjukkan, kerugian potensi pajak negara-negara dunia akibat aksi penghindaran pajak tersebut diperkirakan sebesar US$ 100 - US$ 240 miliar. Nilai ini setara 4%-10% terhadap PDB global.
"Di Indonesia, laporan wajib pajak menunjukkan bahwa 37-42% PDB merupakan transaksi afiliasi. Bila dibiarkan, hal ini tentunya merugikan bagi perpajakan Indonesia, " ujar Febrio.
Aturan terkait perpajakan global yang disepakati minggu lalu disetujui oleh 132 dari 139 negara anggota G20. Ketentuan teknis kedua pilar tersebut rencananya akan difinalisasi pada pertemuan menteri keuangan dan gubernu bank sentral negara-negara G20 bulan Oktober mendatang. Jika final, kesepakatan ini bakal ditandatangani tahun depan dan mulai berlaku efektif mulai 2023 mendatang.