Demi Jaga Rupiah, BI Tahan Suku Bunga 3,5% di Tengah Pelemahan Ekonomi

ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
Gubernur BI Perry Warjiyo mempertahankan suku bunga acuan di level 3,5% pada Kamis (21/7).
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
22/7/2021, 15.21 WIB

Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan sebesar 3,5% meski ekonomi membutuhkan dukungan di tengah ancaman perlambatan akibat penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM. BI memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini dari 4,1% hingga 5,1% menjadi 3,5% menjadi 4,3%. 

"Rapat Dewan Gubernur pada 21-22 Juli 2021 memutuskan untuk mempertahankan BI 7 rate sebesar 3,5%. Suku bunga deposit facility tetap 2,75% dan suku bunga lending facility tetap 4,25%," ujar Gubernur BI dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Dewan Gubernur, Kamis (22/7). 

Perry mengatakan, keputusan ini sejalan dengan perlunya BI menjaga stabilitas nilai tukar dan sistem keuangan di tengah ketidakpastian global, inflasi yang rendah, dan upaya mendukung pertumbuhan ekonomi. BI juga akan terus mengoptimalkan seluruh bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan keuangan

Beberapa kebijakan yang akan ditempuh BI, yakni pertama, menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sejalan dengan fundamental dan mekanisme pasar. Kedua, melanjutkan strategi operasi moneter. Ketiga, melanjutkan kebijakan transparansi Suku Bunga Dasar Kredit. 

Keempat, memperkuat ekosistem penyelenggaraan sistem pembayaran. Kelima, mempercepat dukungan sistem pembayaran yang cepat, mudah, murah, aman, dan handal, untuk penyaluran bantuan sosial. Keenam, mendukung ekspor melalui perpanjangan batas waktu pengajuan pembebasan Sanksi Penangguhan Ekspor (SPE) menjadi 31 Desember 2022.

Ketujuh, memfasilitasi  penyelenggaraan promosi perdagangan dan investasi serta melanjutkan sosialisasi penggunaan Local Currency Settlement (LCS) bekerja sama dengan instansi terkait. Pada Juli dan Agustus 2021 akan diselenggarakan promosi investasi dan perdagangan di Jepang, Amerika Serikat, Swedia, dan Singapura.

Inflasi, menurut dia, tetap rendah, sedangkan nilai tukar rupiah terkendali didukung langkah stabilisasi yang terus dilakukan BI. Nilai tukar Rupiah pada 21 Juli 2021 melemah 0,29% secara point to point dan 1,14% secara rerata dibandingkan dengan level akhir Juni 2021.

"Perkembangan nilai tukar rupiah tersebut dipengaruhi penyesuaian aliran modal keluar dari negara berkembang yang didorong oleh perilaku flight to quality, di tengah pasokan valas domestik yang masih memadai.," kata Perry.

Meski rupiah hingga 21 Juli melemah 3,39%dibandingkan dengan level akhir 2020, Perry mengatakan, pelemahan ini relatif lebih rendah dibandingkan depresiasi dari mata uang sejumlah negara berkembang lainnya, seperti Filipina, Malaysia, dan Thailand.

Ia juga menjelaskan, sejumlah indikator dini pada Juli menunjukkan pemulihan ekonomi masih berlanjut. Namun, BI memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi pada tahun ini dari 4,1% hingga 5,1% menjadi 3% hingga 4,3% seiring penurunan mobilitas akibat penerapan PPKM. 

"BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada 2021 menjadi 3,5% hingga 4,3%. Perkiraan ini sejalan dengan pantauan kami pada perkembangan transaksi sistem pembayaran, baik dalam nominal kecil maupun besar," katanya. 

Perry menjelaskan, hasil pantauan BI mengindikasikan bahwa penurunan transaksi pembayaran tak sedalam yang diperkirakan. BI pun menaksir, pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV  akan kembali meningkat sejalan dengan akselerasi vaksinasi, penerapan protokol kesehatan, dan peningkatan ekspor. 

BI memperkirakan penurunan pertumbuhan ekonomi di luar Pulau Jawa pada kuartal ketiga tak akan sedalam di Jawa. Hal ini lantaran, banyak ekonomi daerah di luar Jawa yang ditopang oleh ekspor. 

Kinerja ekspor pada sepanjang semester pertama tahun ini melonjak 34,78% dibandingkan periode yang sama tahun lalu menjadi US$US$ 102,87 miliar. Kinerja ekspor yang kinclong mendorong neraca perdagangan surplus US$ 11,86 miliar.   

Di sisi lain, Bank Indonesia merevisi ke atas proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini dari 5,7% menjadi 5,8%. Perry menjelaskan,  "Volume perdagangan dunia juga akan meningkat, sehingga akan mendukung kinerja ekspor negara-negara berkembang termasuk Indonesia," kata Perry.